Sunan Drajat, Benarkah Ditolong Ikan Cakalang Sebelum Berdakwah Di Sekitar Paciran?

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Sunan Drajat

Nisan-nisan tua yang miring dan berlumut terhampar sepanjang pekuburan di Desa Drajat itu. Setiap kali memasuki pekuburan tua, kita mungkin saja akan bertanya-tanya tentang keluarga orang-orang yang sudah mati ratusan tahun silam itu. Ke manakah mereka pergi? Kenapa mereka pindah dan tidak pernah datang lagi?

oleh Seno Gumija Ajidarma untuk Intisari edisi Mei 2006 dengan judul "Sunan Drajat Wali Yang Menunggang Ikan"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kemudian, pada gilirannya, datanglah orang-orang yang tidak dikenal dan tidak mempunyai hubungan darah apa pun dengan orang-orang yang sudah mati itu. Bahkan kemungkinan besar mereka juga tidak terlalu mengenal siapa sebenarnya orang yang berada di bawah nisan itu–tetapi mereka berdoa, berharap, dan meminta sesuatu.

Ini tidak berlaku hanya terhadap nisan para sunan, melainkan kadang-kadang juga terhadap kuburan-kuburan di sekitarnya. Seperti kecipratan sawab para sunan, demikianlah ada saja makam Mbah Ini dan Mbah Itu yang secara rutin juga terziarahi, dan riwayat mereka tidak pernah bisa dipastikan ketepatannya selain sebagai dongeng, tepatnya sebagai legenda ...

Di Desa Drajat, makam Sunan Drajat jauh lebih dominan, hanya makamnya-lah—yang terletak di tempat tertinggi--yang disambangi para peziarah. Makam-makam lain tetap tinggal sebagai kuburan tua miring dan berlumut, yang hanya disambangi kupu-kupu dan bekicot.

Namun nasib Sunan Drajat dalam sejarah, tepatnya dalam kepustakaan, sama dengan Sunan Muria, yakni hanya eksis dalam legenda. Dengan kata lain, sama dengan manusia-manusia lain di bawah berbagai nisan di sana, riwayatnya tidak bisa dipastikan.

Adapun Desa Drajat itu terletak di dekat Desa Jelak, Banjarwati, Paciran, Jawa Timur. Jelak adalah desa di tepi pantai utara Pulau Jawa dan lokasinya ini terhubungkan dengan legenda Sunan Drajat.

Topan dan ikan

Hanya terdapat tiga halaman catatan tentang Sunan Drajat dalam karya Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri. Seperti dalam semua versi, ia disebut sebagai putra Sunan Ngampel Denta dan karena itu bersaudara dengan Sunan Bonang, sekaligus beripar Sunan Giri, Raden Patah, maupun Sunan Kalijaga.

Disebutkan bahwa putra-putri Sunan Ngampel Denta dari Nyi Ageng Manila ada lima orang, dan ketiga puterinya menikah dengan tokoh-tokoh tersebut. Tersebutlah bahwa Sunan Drajat tadinya bernama Raden Qosim ataupun Raden Syaifuddin.

Konon ketika ayahandanya menugaskan ia berdakwah di barat Gresik, perahunya diterpa badai sampai hancur tak bersisa dan hanya meninggalkan kepingan-kepingan kayu.

Syahdan saat itu tibalah seekor ikan cakalang, yang menyediakan punggungnya untuk dinaiki Sang Raden tersebut. Selamatlah beliau dari amukan badai. Ikan cakalang ini ternyata membawa Raden Qosim atawa Raden Syaifuddin ke pantai di desa Jelak (buku ini mengejanya Jelog) yang menjadi bagian wilayah Banjarwati di Paciran.

Mungkin dianggap sebagai petunjuk, di sanalah ia untuk pertama kalinya membuka pesantren.

Ternyata ia cuma setahun di sana, lantas pindah sejauh satu kilometer ke selatan. Tiga tahun kemudian, ia mendirikan tempat berdakwah di tempat yang tinggi, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Dhuwur.

Namun sudah jarang penduduk sekitar mengenal istilah ini, karena di tempat itu telah didirikan museum, yang ketika Intisari tiba sedang ditutup untuk renovasi. Tentu layak dipertanyakan, apakah yang akan mungkin diperlihatkan dalam museum di dekat makam ini, dari seorang tokoh yang hanya dikenal legendanya.

Jika ditanya tentang Dalem Dhuwur, malah biasanya ditunjukkan Sendang Dhuwur, makam seorang "Sunan Sendang" yang tak ada hubungannya dengan Sunan Drajat.

Pembenaran Setiap Versi

Konsekuensi berkisah melalui jalan legenda adalah mengungkap segenap versinya. Melalui catatan Hasanu Simon dalam Misteri Syekh Sitijenar: Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004) maupun Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisanga (1995) disebut bahwa Sunan Drajat bukan putra Sunan Ngampel Denta dari Nyi Ageng Manila (dalam buku Saksono disebut Dyah Siti Manila).

Tapi dari Nyai Karimah dan namanya adalah Masaih Munad atau Mahmud.

Nama lain Sunan Drajat sendiri konon memang banyak sekali, sebutlah Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, dan Pangeran Drajat.

Jika versi yang telah terbaca menyebut sebelah barat Gresik sebagai lokasi tugas dakwahnya, versi lain adalah sebelah barat Surabaya -- dan yang menolongnya ketika terjadi badai tidak disebut sebagai ikan cakalang melainkan ikan talang. Nah, sesampainya di Jelak, Banjarwati, kita bisa mendengar sambungannya.

Raden Qosim disambut tetua desa yang bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Konon mereka ini sebelumnya sudah masuk Islam, karena ada pendakwah lain dari Surabaya yang juga pernah terdampar di sana.

Dalam catatan Simon, tahun terdamparnya Raden Qosim adalah 1485 dan ia perkirakan tahun lahirnya adalah 1450. Namun tiada bukti maupun argumen filologis dan arkeologis atas perkiraan ini.

Adalah karena surau dan pesantren yang didinkannya, maka Desa Jelak menjadi ramai dan berkembang menjadi kampung besar. Disebutkan nama Jelak ini diubah menjadi Banjaranyar, Raden Qosim menikah dengan putri Mbah Mayang Madu yang bernama Kemuning, lantas pindah setelah tiga tahun bermukim di situ.

Hanya satu kilometer jaraknya, tetapi itulah desa berbukit kecil yang bernama Drajat (Simon mengejanya Drajad). Di atas bukit itulah ia membangun Dalem Dhuwur, tempatnya tinggal dan mengajar, dan akhirnya ternisbahkanlah namanya dari sana: Sunan Drajat.

Konon bukan hanya Kemuning istrinya, melainkan juga Retnayu Condrosekar putri Adipati Kediri Raden Suryodilogo dan Dewi Sufiah putri Sunan Gunungjati.

Pernikahan dengan Sufiah diriwayatkan juga dalam versi lain: bahwa mereka bertemu sebelum Raden Qosim tinggal di Drajat dan berguru kepada Sunan Gunungjati. Dengan kata “versi” tidak dimaksudkan bahwa ada satu "yang benar", karena setiap "versi" membawa pembenarannya sendiri, sementara tiada data filologi maupun arkeologi yang bisa dipegang, meski sekadar untuk memperkirakan.

Menolong tanpa pilih kasih

Buku cerita bergambar yang ditulis Syam, ditulis Syam, Sunan Drajat (1987) dan Raden Syarifuddin (1987), seperti dikutip oleh Simon, ternyata memberikan dongeng yang sama sekali berbeda.

Disebutkan betapa Syarifudin (dengan satu "d") masih kecil ketika ayahandanya meninggal dunia. Maka bergurulah ia kepada kakaknya, yang sudah dikenal sebagai Sunan Bonang (Simon mengeja Mbonang) di Tuban.

Adapun cara Sunan Bonang mengajari agak mirip seperti terhadap Sunan Kalijaga: Syarifudin disuruh masuk hutan terlebih dahulu. Beberapa lama, ketika menjenguk, Sunan Bonang meninggalkan kitab suci al-Qur'an yang terbuat dan lontar. Konon Syarifudin tak tahu menahu apa yang bisa dikerjakan dengan kitab suci tersebut, dan hanya bisa berjalan tanpa tujuan yang pasti.

Suatu hari, ketika termenung di tepi sungai di Desa Drajat, dalam keadaan setengah tidur masuklah Sunan Giri ke dalam mimpinya. Iparnya itu tu konon mengajarkan isi al-Qur'an sehingga dalam waktu singkat Syarifudin sudah bisa memahami maknanya.

Ini membuatnya mampu mengajar kepada penduduk sekitar di desa Drajat - lantas disebutlah ia sebagai Sunan Drajat.

Dari pengisahan Syam ini tersebutlah suatu kisah mistik. Seperti dikutip Simon, suatu hari pantai utara Tuban dilanda angin topan, konon karena selain penduduk tak sudi memeluk Islam ternyata bahkan menghina pula.

Begitu banyak orang terseret oleh gelombang laut, termasuk para santri Sunan Drajat sendiri. Maka Sunan Drajat naik perahu, berdoa, dan redalah badai itu, sehingga ia bisa menolong para santrinya maupun orang-orang lain, yang selama ini telah menghinanya.

Para santri dan pembantu Sunan Drajat konon protes atas pertolongan yang tidak pilih kasih itu, tetapi Sunan Drajat tidak berhenti menolong siapa pun yang harus ditolong.

Tentu saja cerita ini sendiri sangat berbau dakwah, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan benar tidaknya, karena dengan suatu cara juga memanfaatkan sebagai data bahwa dongeng yang mana pun memiliki kepentingannya sendiri.

Wacana lokal dan politik identitas

Meski tanpa dasar yang ilmiah, terdapat sejumlah informasi mengenai kegiatan Sunan Drajat, misalnya bahwa ia berdakwah dengan memanfaatkan kesenian. Dalam lembang mijil yang konon diciptakannya, seperti dikutip Simon, tercatat lirik seperti berikut:

---

Dedalane guno lawan sekti, kudu andhap asm Wani ngalah duwur wekasane. Tumungkula yen dipun dukani. Bapang den simpangi, ono catur mungkur.

Kalau ingin berguna dan sakti, haruslah lemah lembut, mengalah agar mencapai kemuliaan, menundukkan wajah dan mendengarkan kalau dimarahi, hindarkan perselisihan sampai persoalan berlalu.

---

Sebelum berlanjut, mohon diperhatikan bahwa bahasa Jawa yang digunakan dalam teks tersebut tergolong bahasa Jawa Baru dan sama sekali bukan Jawa Kuno atau Kawi. Naskah-naskah yang membentuk semesta "Sastra Jawa Tradisional", menurut Nancy K. Florida dalam Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (2003) sebagian besar ditulis dalam rentang 250 tahun terakhir, artinya antara abad ke-18 dan ke-20.

Catatan ini penting untuk bersikap kritis terhadap bahasa sumber "data" mengenai Sunan Drajat, yang kalau memang terdapat sosok historisnya, hidup pada abad ke-15.

Kembali kepada teks di atas, meski tampaknya "Jawa sekali" nasihat semacam itu disebut merupakan penurunan dan ayat al-Qur'an juga, dan sering menjadi contoh bagaimana Sunan Drajat, seperti juga para walisanga lain, menghindarkan citra "kearab-araban" yang kemungkinan besar tak akan efektif dalam usaha dakwah pada masanya.

Sunan Drajat, seperti dicatat Saksono, juga disebut-sebut berjasa dalam penyempurnaan alat pengangkutan alias transportasi dan bangunan perumahan. Kita tidak mempunyai cara menerima informasi semacam ini dengan bertanggung jawab.

Kecuali memakluminya bahwa ketika intelektualisasi pencitraan juga dilakukan kepada para sunan lain, memang berlangsung suatu kepentingan yang relevan dengan tafsiran bahwa agama itu harus menyentuh langsung kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, wajarlah bahwa apa yang dianggap sebagai "ajaran Sunan Drajat" seperti berikut inilah yang sampai sekarang masih diingat orang:

---

Paring teken marang hang kalunyon Ian wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang kang kawudan, lan paring payung marang kang kodanan

Memberi tongkat kepada orang yang sedang berjalan di tempat licin dan orang buta, memberi makan kepada yang kelaparan, memberi pakaian kepada yang telanjang, memberi pavung kepada yang kehujanan

---

Seperti dicatat oleh Sofwan, Wasit, dan Mundiri, maksud ajaran lersebut adalah: Beri petunjuk yang tidak tahu, sejahlerakan rakyat yang miskin, ajarkan budi pekerti kepada yang tidak beradab, dan lindungilah orang-orang yang tertindas.

Jelas ini merupakan suatu kebijakan sosial yang lidak asing bagi agama dan kebudayaan mana pun. Seolah-olah bagi Sunan Drajat bukanlah baju agama yang paling penting bagi manusia, tetapi perilaku sosial macam apa yang menjamin keberadaban pemeluk agama mana pun.

Siapa pun yang merumuskan kembali "ajaran Sunan Drajat” tersebut pastilah memiliki kesadaran tentang bias yang dimungkinkan oleh apa yang dapat disangka sebagai identitas agama tertentu.

Anggapan bahwa para wali memanfaatkan wacana lokal dalam penyebaran agama, menjelaskan terdapatnya kesadaran akan suatu politik identitas, karena masalah identitas memang tak mungkin dilepaskan dan kondisi kebudayaan yang dalam dirinya sendiri selalu berproses.

Artikel Terkait