Find Us On Social Media :

Utang-Utang Belanda yang Dilunasi Indonesia Usai Pembentukan Republik Indonesia Serikat

By Afif Khoirul M, Minggu, 9 Juni 2024 | 15:15 WIB

Hasil Koferensi Meja Bundar di baliknya memberikan keuntungan bagi Belanda.

Mereka melihat masalah utang sebagai isu yang sangat penting dan berpendapat bahwa Belanda tidak seharusnya menuntut apapun dari Indonesia. Mereka percaya bahwa pemulihan ekonomi Indonesia adalah kunci agar Belanda dapat melanjutkan perdagangan dengan negara tersebut.

Emosi memuncak di subkomite yang dibentuk untuk menangani masalah utang. Indonesia bersedia menerima keputusan komite tersebut asalkan jadwal penyerahan kedaulatan tidak terganggu dan biaya militer tambahan tidak termasuk dalam utang.

Sikap Belanda yang keras ini mengejutkan mengingat mereka telah menerima sebagian dari Marshall Aid dan keuntungan finansial lainnya untuk rekonstruksi. Akhirnya, setelah negosiasi dengan diplomat PBB Cochran, utang Indonesia dipotong menjadi 4,5 miliar dolar AS, dengan semua kewajiban bunga dan pembayarannya.

Suriname, pada waktu yang berbeda, menerima penghapusan total utangnya senilai setengah miliar setelah merdeka pada tahun 1975, dan juga menerima bantuan pembangunan sebesar 3,5 miliar gulden.

Debat tentang utang Konferensi Meja Bundar telah lama hilang dari diskusi publik, sampai mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PVDA, Lambertus Giebels, berargumen di De Groene Amsterdammer pada tahun 2000 bahwa Indonesia telah memberikan kontribusi finansial yang signifikan untuk rekonstruksi Belanda, hampir setara dengan Marshall Aid (inisiatif Amerika yang disahkan pada tahun 1948 untuk memberikan bantuan luar negeri ke Eropa Barat).

Dia menyatakan bahwa dari utang awal 4,5 miliar gulden pada tahun 1956, ketika Indonesia menghentikan pembayaran, masih ada sisa sekitar 650 juta gulden, yang berarti hampir empat miliar gulden telah dibayar ke Belanda.

Masih ada perdebatan tentang berapa banyak dari utang tersebut yang benar-benar dibayar dan apakah jumlahnya ditentukan dengan benar. Dokumen dari Arsip Nasional di Den Haag dan sumber lainnya mendukung klaim Giebels tentang sisa utang dan jumlah yang dibayarkan.

Meskipun pentingnya Marshall Aid telah berkurang, Giebels menggunakan perbandingan antara kontribusi Indonesia dan Marshall Aid untuk menekankan pentingnya kontribusi Indonesia. Namun, kesimpulannya dianggap salah karena dia hanya menggunakan nilai tukar 3,80 per dolar untuk Marshall Aid sebesar 1,127 juta dolar, yang baru berlaku mulai 20 September 1949, sementara bantuan pertama tiba di Belanda pada April 1948 dengan tarif Bretton-Woods sebesar 2,65.

Jika nilai tukar ini diperhitungkan, jumlah yang dibayarkan Indonesia akan lebih besar dari Marshall Aid. Namun, utang yang ditanggung Indonesia hanya merupakan salah satu dari beberapa manfaat yang diperoleh Belanda dari penyerahan kedaulatan.

Manfaat lainnya termasuk transfer keuntungan, pensiun, dan dividen yang terus mengalir ke Belanda dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Selama periode 1950-1957, jumlah ini mencapai 3,2 miliar gulden, dengan sebagian kecil saja yang diinvestasikan kembali. Dengan demikian, Belanda berhasil mengamankan kepentingan finansial dan ekonominya pembentukan RIS.

*

Saat ini Intisari sudah hadir di WhatsApp Channel, follow di sini dan dapatkan artikel-artikel terbaru kami

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News