Find Us On Social Media :

Utang-Utang Belanda yang Dilunasi Indonesia Usai Pembentukan Republik Indonesia Serikat

By Afif Khoirul M, Minggu, 9 Juni 2024 | 15:15 WIB

Hasil Koferensi Meja Bundar di baliknya memberikan keuntungan bagi Belanda.

 

Intisari-online.com - Pada sore hari di tanggal 23 Agustus 1949, delegasi dari Republik Indonesia, Negara Federal, dan Belanda berkumpul di Ridderzaal, duduk mengelilingi meja oval, dalam sebuah konferensi yang dikenal dengan sebutan Konferensi meja bundar.

Mereka dibantu oleh PBB dengan Merle Cochran, seorang diplomat Amerika, sebagai pemimpin.

Konflik yang berkecamuk selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Mohammed Hatta pada 17 Agustus 1945, mendekati titik akhirnya. Konferensi Meja Bundar, yang bertujuan untuk menyelesaikan syarat-syarat penyerahan kedaulatan ke Indonesia dalam dua bulan di bawah pengawasan internasional, berlangsung.

Hasilnya adalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), mirip dengan Persemakmuran Inggris, yang terdiri dari Kerajaan Belanda dan Indonesia Serikat, dengan Ratu Belanda sebagai kepala Mahkota Persatuan.

Dua faksi mewakili Indonesia, namun keduanya bersatu dalam satu tujuan, kedaulatan penuh. Perdebatan intens terjadi di meja perundingan, dengan delegasi Partai Republik dipimpin oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Mohammad Roem, mantan Menteri Dalam Negeri, sementara delegasi Federal diwakili oleh Perdana Menteri Mr. I.A.A.G Agung dan Hamid II, Sultan Pontianak.

Mewakili Belanda, Menteri Wilayah Luar Negeri Johannes van Maarseveen, Menteri Luar Negeri Dirk Stikker, dan diplomat Herman van Roijen hadir. Perdana Menteri Willem Drees membuka konferensi penting ini, menyoroti adanya oposisi signifikan di Belanda terhadap penyerahan kedaulatan.

Frans Goedhart, politikus dari PVDA, menulis di Het Parool dengan nama samaran Pieter 't Hoen, mengungkapkan bahwa kelompok kolonial yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Gerbrandy sedang berkumpul di Kebun Binatang Den Haag, berusaha menghentikan proses penyerahan kedaulatan.

Pemerintah Belanda menilai penyelesaian ini dari sudut pandang finansial. HM Hirschfeld, komisaris pemerintah yang berpengaruh dan ahli keuangan Hindia Belanda, menganggap isu politik dan konstitusi sebagai sekunder dibandingkan dengan ekonomi.

Baginya, kepentingan Belanda terletak pada penyelesaian utang yang menguntungkan dan pemeliharaan investasi di bidang perkebunan, pertambangan, dan transportasi. JMMJ Clerx, seorang ekonom, menggambarkan pandangan Hirschfeld dalam sebuah volume tahun 1991 tentang kabinet Drees-Van Schaik, menunjukkan bahwa Belanda mendapat keuntungan dari penyerahan kedaulatan, seringkali merugikan Indonesia yang baru merdeka.

Delegasi Belanda memasuki perundingan dengan tuntutan bahwa Indonesia harus mengambil alih beban utang Hindia Belanda sebesar 6,5 miliar gulden, termasuk biaya operasi militer yang telah menelan korban jiwa ratusan ribu warga Indonesia. RUU tersebut menyatakan bahwa tindakan yang diambil untuk mengembalikan ketertiban dan perdamaian adalah untuk kepentingan Indonesia.

Baca Juga: Bukti Indonesia Negara Kaya Minyak Bahkan Sejak Zaman Kolonial Belanda

Para anggota delegasi Indonesia pasti merasa ironis dengan situasi ini. Mohammed Hatta, yang pernah dipenjarakan selama ‘Aksi Polisi Kedua’ pada tahun 1948, dan Dr. Leimena, yang menyaksikan bom Belanda meledak di Yogyakarta, kini dihadapkan pada tagihan untuk bom-bom tersebut.

Di Belanda sendiri, ada suara-suara yang menentang. Tokoh-tokoh progresif seperti Jacques de Kadt dan Menteri Keuangan Indonesia Timur M. Hamelink berpendapat bahwa penyerahan kedaulatan oleh delegasi Belanda harus ‘lengkap dan tanpa syarat’, sesuai dengan perintah Dewan Keamanan PBB.