Find Us On Social Media :

Sejarah Kelam: Tiga Lokasi Eksekusi Hukuman Gantung di Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 5 Juni 2024 | 17:20 WIB

Sahabat Museum menggelar Plesiran Tempo Doeloe bertajuk 'Hoekoeman Gantoeng di Tana Lapang'. Tampak Ade Purnama, pendiri Sahabat Museum, tengah mengisahkan tentang salah sudut Kota Batavia, Gerbang Amsterdam.

 

Intisari-Online—"Di sana sudah berdiri tempat hukuman gantungan hitam. Sekelompok militer, infanteri dan kavaleri membuat pagar betis di sekitar tempat hukuman gantung itu. Algojonya seorang bumiputra berseragam polisi. Bersama pembantunya yang bercelana putih, ia luntang-lantung menunggu pelaksanaan tugas," tulis Justus van Maurik Jr. (1846-1904).

Maurik menyaksikan peristiwa itu pada 1896. Kemudian ia menuliskan kisah perjalanannya di Hindia Belanda dalam Indrukken van een "Totok", Indische type en schetsen yang diterbitkan oleh Van Holkema & Warendorf di Amsterdam pada 1897. Sebelumnya ia dikenal sebagai penulis cerita rakyat dan cerita komedi.   

Maurik berkisah bahwa pagi itu pengadilan menjatuhkan eksekusi hukuman gantung kepada seorang Cina di pekarangan depan Balai Kota Batavia. Kuncirnya dilepaskan dan hanya diikat pita merah di kepalanya. Rambutnya yang lebat dan hitam pekat terurai hampir sampai separuh punggungnya. Ia didakwa sebagai penjahat keji karena telah merampok dan membunuh dua wanita. Namanya, Tjoe Boen Tjiang, kerap dijuluki si Impeh.

"la masih muda dan tampan. la sama sekali tidak kelihatan risau. Dengan mata tegar ia melihat ke kiri-kanan. Rupanya ia menikmati cerutunya," tulis Maurik. "Saya kagum dengan ketenangannya."

Eksekusi hukuman gantung telah menjadi hiburan kota. Kepada semua orang yang menonton eksekusinya, Tjoe Boen Tjiang menyampaikan pesan bahwa perilakunya tak layak ditiru. Setelah itu ia memiringkan kepalanya, lalu sang algojo mengalungkan tali tambang. Ia ditakdirkan tidak melewati pergantian abad.

Pada Minggu, 2 Juni 2024, Sahabat Museum berhimpun di teras pintu gerbang Balai Kota, tempat eksekusi hukuman gantung Tjoe Boen Tjiang. Bukan sebuah kebetulan, Plesiran Tempo Doeloe yang digelar pagi itu bertajuk Hoekoeman Gantoeng di Tana Lapang. Suasananya barangkali mirip saat Tjoe Boen Tjiang hendak dieksekusi, ingar bingar karena warga tumpah ruah di lapangan balai kota untuk mencari hiburan dan tontonan.

Plesiran Tempo Doeloe: Hoekoeman Gantoeng di Tana Lapang merupakan kolaborasi Sahabat Museum dan Intisari. Kolaborasi ini bagian dari merayakan bersama ulang tahun Jakarta sekaligus menghimpun kembali cerita-cerita yang membentuk peradaban metropolitan ini. 

"Hukuman gantung boleh dibilang ada merupakan salah satu hiburan warga Jakarta tempo dulu tatkala masih bernama Batavia," ungkap Ade Mahardika Purnama, pendiri Sahabat Museum yang sekaligus pemandu. "Rakyat berduyun-duyun menyaksikan aksi ini sedari pagi. Tukang jualan pun tidak menyiakan-nyiakan momen tersebut. Layaknya di zaman sekarang, di mana ada kerumuman, di situ ada pedagang yang menawarkan dagangannya."

Tanda peserta Plesiran Tempo Doeloe kali ini menampilkan lukisan potret Oey Tambahsia yang digambarkan menghadapi tali eksekusi di tiang gantungan. "Tokoh yang lumayan kesohor yang mengalami hukuman gantung adalah Oey Tambahsia," ungkap Adep, sapaan akrabnya. "Playboy dari Patekoan, Glodok, yang hidup di tahun 1850-an." 

Oey kerap dijuluki "si Mata ke Randjang", demikian ujar Adep. Dia menambahkan bahwa penulisan awalnya adalah "mata ke ranjang" untuk menyindir pria-pria genit kegatelan—bukan "mata keranjang".

Adep memulai berkisah, Oey Tambahsia kerap mencari wanita di seantero Betawi untuk diajak pelesiran di sebuah vila Bintang Mas miliknya yang berada di pantai Ancol.

Baca Juga: Seperti Apa Hak VOC untuk Menebang Tanaman Rempah-Rempah di Maluku?

"Untuk menuntaskan hasratnya," demikian Adep berkisah, "tak segan ia membunuh para suami dari wanita yang ia incar." Namun, kekejian sang Playboy dari Patekoan itu pun kelak berkesudahan. Atas pembunuhan-pembunuhan itu ia digantung di halaman depan Stadhuis, Balai Kota Batavia.

Adep mengajak para peserta untuk menyigi tempat-tempat yang pernah menjadi ajang eksekusi hukuman mati di Kota Batavia.  Setidaknya, berdasar peta, lukisan, catatan zaman VOC sampai kesaksian pejalan zaman Hindia Belanda, terdapat tiga tempat ajang eksekusi hukuman gantung di Batavia. 

Pertama, tempat yang dijuluki sebagai Galgenveld—bermakna tiang gantungan—berada di tanah lapang di sisi selatan Kastel Batavia, kini kawasan sekitar Jalan Tongkol. Lokasi eksekusi hukuman gantung paling tua sepanjang sejarah Batavia.

Menurut peta Kota Batavia karya Frans Floriszoon van Berckenrodee yang dilukis di atas kanvas pada 1627, terdapat lokasi tiang gantungan di sebuah tanah lapang di selatan Kastel Batavia. Persisnya di sisi timur tanah lapang itu. Ia merupakan surveyor dan pembuat peta sekitar 1625-1638 di Batavia, yang tampaknya mempersembahkan karyanya untuk Jan Pieterszoon Coen. Ketika itu Coen kembali ke Jawa demi jabatan kedua kalinya sebagai Gubernur Jenderal VOC (1627-1629).

Sementara peta Kota Batavia yang dilukis pada 1629 oleh Venant Fecit telah menunjukkan lokasi tiang gantungan pada kawasan yang sama, yakni di tanah lapang di sisi selatan Kastel Batavia, namun berada di sisi barat tanah lapang itu. Di peta itu tempat eksekusi hukuman disebut sebagai De Justitieplaets van ‘t Casteel.

Perihal perbedaan tempat eksekusi ini Muhammad Asyrafi memberikan pendapat dalam tesisnya di Universiteit Leiden, Belanda. Kajiannya bertajuk A Distant Mirror: Violent Public Punishment in the VOC Batavia, 1729-1739, yang dituntaskannya pada 2020.

Asyrafi mengungkapkan, "Peta juga merupakan salah satu sumber utama yang dapat digunakan untuk mengungkap lokasi tempat eksekusi VOC. Namun, menemukan lokasi tepat tempat eksekusi dan tiang gantungan di peta Batavia lama rumit karena sumber VOC menunjukkan lokasi yang berbeda tempat eksekusi." 

Ia juga menyelidik lukisan karya Johannes Rach, seorang pelukis VOC asal Denmark yang menetap di Batavia sejak 1764 sampai akhir hayatnya pada 1783. Dalam lukisan Rach berjudul Het Kasteel Poort van Binnen, lokasi Groenezoodje atau Galgenveld yang merujuk eksekusi hukuman itu mendekati dengan lokasi yang ditunjukkan peta karya Frans Floriszoon van Berckenrodee—berada di sisi timur lapangan Kastel Batavia.  

Asyrafi menjelaskan istilah Groenezoodje yang digunakan di Batavia merujuk nama tempat eksekusi di Den Haag. "Sebutan Groenezoodje artinya Rumput Hijau. Groenezoodje di Den Haag benar-benar berwarna hijau," tulisnya. "Meskipun nama Groenezoodje di Batavia mengacu pada perancah tempat dilakukannya proses eksekusi, kemungkinan besar perancah tersebut tidak berwarna hijau."

Baca Juga: Tiga Alasan Penting yang Melatarbelakangi Dibentuknya Korporasi Dagang Belanda yang Diberi Nama VOC

Litografi eksekusi hukuman karya Simon Fokke (1712–1784) yang terbit dalam Vier episodes uit de vaderlandse geschiedenis, yang ditunjukkan juga dalam tesis Asyrafi, juga memiliki kemiripan dalam perancah eksekusi dengan lukisan Johannes Rach—semacam panggung yang terbuat dari kayu. Simon merupakan desainer, etsa, dan pengukir asal Amsterdam, Belanda.

Kedua, lokasi eksekusi hukuman gantung yang berada di depan Stadhuis atau Balai Kota Batavia. Eksekusi ini digelar pada hari tertentu setiap bulannya. Para terpidana berada di kamar penjara yang berjubel dan pengap di lantai bawah Balai Kota.

Sehari sebelum eksekusi, seorang terpidana telah mendapat kabar hukuman itu dari pengadilan. Sejak malam harinya ia dibawa ke tempat eksekusi, menanti datangnya matahari pagi terakhir. Pada hari pelaksanaan eksekusi, para hakim menyaksikan hukuman gantung dari jendela-jendela di lantai dua, tepat di atas pintu masuk Balai Kota.

Selain hukuman gantung "salah satu hukuman sangat kejam yang dilaksanakan di muka Balai Kota adalah penyulaan," ungkap Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta. "Para korban menjerit-jerit berhari-hari."  Penyulaan adalah penyiksaan yang melibatkan penembusan tubuh manusia oleh benda tajam seperti tiang, tongkat, atau tombak.

Kedua tempat tiang gantungan tadi—tanah lapang Kastel Batavia dan Balai Kota—berada dalam tembok kota. Lalu, di manakah lokasi ketiga?

Ketiga, menurut peta Batavia karya Clement De Jonghe sekitar 1650, terdapat lapangan kosong yang disebut Galgenveld yang berada di timur tembok kota. Lokasinya, di timur Kampung Bandan.

Peta itu bertajuk Afbeldinge van 't Casteel en de Stadt Batavia, gelegen op 't groot Eylandt Java-Maior, int Coninckrijck van Jaccatra'; verso: 'Batavia L'An 1629 —Gambar dari Kastel dan Kota Batavia di pulau Jawa Besar dalam Kerajaan Jaccatra.

Pada kesempatan Plesiran Tempo Doeloe ini Sahabat Museum menyigi lokasi kedua dan ketiga karena berkait waktu dan jarak perjalanan. Bermula dari Stadhuis atau Balai Kota Batavia, yang kini Museum Sejarah Jakarta, berjalan ke arah timur menyusuri Jalan Ketumbar.

Mereka menyeberangi Jalan Lada Dalam sampai di tepi kanal besar yang mengelilingi Kota Batavia. Stads Buiten Gragt, demikian toponimi kanal itu dalam peta karya Petrus Conradi buatan 1780. Selanjutnya, para peserta pelesiran itu meniti titian bekas struktur jembatan kereta bikinan Staasporrwegen pada akhir abad ke-19, dan tibalah mereka di Kampung Bandan. 

Baca Juga: Apa Tujuan VOC Terlibat Dalam Urusan-Urusan Internal Kerajaan Nusantara?

Mereka singgah sejenak di sebuah tempat di tengah kampung padat itu. Lokasi itu diduga pernah menjadi ajang eksekusi hukuman zaman VOC. "Tidak ada yang tersisa dari tiang hukuman itu," kata Adep. "Namun dari peta VOC kita tahu bahwa tempat ini disimbolkan dengan tiang gantungan"—dan simbol peranti penyiksaan menggunakan roda pemecah.

Toponimi "Kampung Bandan" sejatinya merujuk orang-orang dari Pulau Banda di Maluku. Mereka adalah "orang-orang dari Banda Naira, Maluku, yang dibawa paksa oleh VOC pada tahun 1621 setelah peristiwa 'Pembantaian Banda'," ungkap Adep.

"Mereka ditempatkan di suatu lokasi yang pada saat itu lumayan jauh dari pusat kota," imbuhnya. "Sayangnya, tiada artefak sejarah dari masa itu yang tersisa di sana kecuali sebuah masjid keramat yang dibangun seratus tahun kemudian."

Hari ini Kampung Bandan menjadi bagian kampung-kampung tua dan salah satu permukiman padat nan kumuh di pinggiran gemerlapnya Metropolitan Jakarta. Tiada lagi jejak orang-orang Banda di sepetak kawasan bersejarah ini.

Menariknya, peta karya Clement De Jonghe menunjukkan tiang gantungan dan tiang roda penyiksaan, yang mengingatkan kita pada metode hukuman menggunakan "Roda Pemecah".

Metode penyiksaan itu biasa digunakan untuk eksekusi publik terutama di Eropa pada zaman kuno hingga Abad Pertengahan. Tujuan utamanya menjemur si penjahat di roda tiang gantungan itu hingga merasa kesakitan, sampai perlahan menuju kematian lalu dibiarkan membusuk. Eksekusi ini sengaja ditunjukkan ke semua orang supaya menimbulkan dampak psikologis atau jera bagi yang menyaksikannya.

Candrian Attahiyyat, arkeolog dan peneliti sejarah kota Batavia, merupakan sosok yang memperkirakan lokasi tiang gantungan dan tiang roda penyiksaan itu berada di Kampung Bandan berdasar lokasi peta. "Sumber cerita penyiksaan saya peroleh secara umum," ungkapnya kepada Intisari dalam kesempatan berbeda. "Tetapi," imbuhnya, "untuk jalannya penyiksaan di Batavia saya belum dapat datanya, apakah benar-benar terjadi."

Untuk konteks hari ini, eksekusi zaman VOC itu tampak memamerkan kengerian. Namun, penting bagi kita untuk memahami konteks sejarah dan bagaimana pandangan tentang hukuman telah berubah seiring waktu. Apakah hukuman pada zaman sekarang tergolong hukuman yang lebih ringan dan tidak menimbulkan efek jera?

Pada zaman silam, mengapa bentuk hukuman-hukumannya begitu mengerikan? Boleh jadi, penguasa zaman itu begitu berhasrat untuk menegaskan otoritas mereka dengan menunjukkan kekuatan dan ketegasan. Demi pemulihan kekuasaan, hukuman sadis dianggap sebagai cara untuk menakut-nakuti warganya agar patuh pada hukum.

Namun, hukuman sadis dapat pula dipicu oleh pandangan moral atau agama yang membenarkan bahwa hukuman keras dianggap sebagai bentuk pemurnian jiwa dan penebusan dosa. Faktor lainnya, sistem peradilan pada masa itu sering kali tidak adil dan korup sehingga hukuman sadis dapat digunakan sebagai alat untuk menindas kelompok minoritas.

*

Semua manahan napas. Mereka yang hadir menyaksikan eksekusi Tjoe Boen Tjiang di lapangan Balai Kota Batavia itu berdebar-debar, termasuk Maurik. Ketika itu si terpidana memiringkan kepalanya untuk dimasukkan ke dalam tali yang terhubung di tiang gantungan. Sekonyong-konyong algojo menarik talinya, genderang berbunyi dan pintu bawah terbuka.

"Muka Tjoe Boen Tjiang mendadak menjadi merah darah dan matanya melotot. Lidahnya terjulur ke luar," tulis Maurik.Ia mencatat, seorang wanita menjerit sejadi-jadinya sampai pingsan. Penjual minuman memukul-mukul kaleng tanda puncak tontonan. Orang-orang pun mulai buyar meninggalkan lapangan Balai Kota Batavia.

Namun, pada malam-malam berikutnya, Maurik baru merasa terganggu dengan peristiwa eksekusi itu. "Sering saya terjaga dan tidur dan melihat orang Cina itu bergelantungan di depan mata saya," tulisnya.

Nama Tjoe Boen Tjiang menjadi nama bersejarah karena ia menjadi terpidana terakhir yang menjalani hukuman gantung di Kota Batavia.