Find Us On Social Media :

Pemberontakan PKI Pada Tahun 1948 Adalah Upaya Disintegrasi Bangsa Yang Dilatarbelakangi Oleh Adanya Hal Ini

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 25 April 2024 | 15:36 WIB

Pemberontakan PKI pada tahun 1948 adalah upaya disintegrasi bangsa yang dilatarbelakangi oleh adanya hal-hal berikut ini, salah satunya Perjanjian Renville.

Intisari-Online.com - Perjanjian Renvill yang ditandatangani pada Januari 1948 punya banyak dampak negatif bagi Indonesia.

Salah satunya adalah pemberontakan PKI Madiun 1948.

Pemberontakan PKI pada tahun 1948 adalah upaya disintegrasi bangsa yang dilatarbelakangi oleh adanya hal-hal berikut ini.

Secara garis besar, Pemberontakan PKI Madiun atau Peristiwa Madiun 1948 merupakan konflik yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan kelompok oposisi sayap kiri.

Peristiwa ini meletus pada 18 September 1948 ini.

Dalam peristiwa itu, elemen-elemen kiri di Indonesia, mulai dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), ingin merebut kekuasaan karena tidak puas dengan kebijakan pemerintah.

Pemberontakan PKI Madiun baru dapat diakhiri setelah tiga bulan berlangsung, dengan kekalahan di pihak PKI.

Faktor yang membuat gerakan PKI Madiun dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan NKRI adalah PKI memproklamasikan Republik Soviet.

Terjadinya Pemberontakan PKI Madiun dilatarbelakangi oleh permasalahan yang sangat kompleks.

Peristiwa ini diawali dengan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.

Dia tidak lagi mendapat dukungan setelah dituding membawa kerugian bagi Indonesia ketika mengadakan Perjanjian Renville dengan Belanda.

Saat jabatan perdana menteri Amir Sjarifuddin berakhir pada 28 Januari 1948, Mohammad Hatta maju membentuk kabinet baru.

Hatta sempat menawarkan posisi di kabinetnya kepada fraksi Amir, tetapi tidak terjadi kesepakatan karena pihak Amir menginginkan posisi kunci.

Akhirnya Hatta membentuk kabinet baru tanpa golongan sayap kiri, yang program utamanya adalah melaksanakan Perjanjian Renville dan rasionalisasi tentara Indonesia.

Kecewa dengan keputusan Hatta, golongan sayap kiri mulai masuk ke pihak oposisi dan melakukan rapat di Surakarta pada 26 Februari 1948.

Rapat tersebut menghasilkan pembentukan Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PSI, PKI, PBI, Pesindo, dan SOBSI, dengan Amir Sjarifuddin sebagai pemimpinnya.

Dalam perkembangannya, FDR berubah menjadi radikal dan programnya fokus untuk menentang program Kabinet Hatta.

FDR memiliki dua basis kekuatan utama, yaitu TNI-Masyarakat dan SOBSI, yang merupakan organisasi buruh terbesar dengan hampir 300.000 anggota.

Kebencian terhadap pemerintah semakin bertambah saat Hatta memulai program rasionalisasi dan memandang TNI-Masyarakat sebagai organisasi militer berhalun komunis yang tidak terlatih.

FDR lantas mulai mencari dukungan dari para petani dan mendorong pemogokan buruh.

Pemerintah marah dan menuding pemogokan sebagai tindakan yang membahayakan Republik.

Situasi semakin memanas saat Musso, tokoh komunis senior Indonesia yang pernah belajar ke Uni Soviet, kembali dan membentuk badan baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri.

Mereka lantas melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menyebarkan komunisme.

Peristiwa inilah yang dijadikan alasan untuk melancarkan kampanye anti-PKI dan melakukan penculikan perwira kiri.

Memasuki September 1948, pemerintah dan golongan sayap kiri melancarkan aksi saling culik.

Hingga akhirnya, Madiun menjadi daerah yang tersisa sebagai benteng terakhir FDR.

Hal itu membuat pimpinan FDR lokal di Madiun khawatir sehingga pecahlah pemberontakan pada 18 September 1948.

Pada 18 September 1948 pukul 03.00 pagi, FDR Madiun mulai merebut pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara yang dipimpin oleh Sumarsono dan Djoko Sujono.

Dalam serangan ini, terdapat dua perwira yang tewas terbunuh dan empat orang terluka.

Hanya dalam hitungan jam, Madiun sepenuhnya sudah berhasil dikuasai FDR.

Dua anggota FDR yaitu Setiadjit dan Wikana mengambil alih pemerintahan sipil dan membentuk Front Pemerintah Nasional Daerah Madiun.

Setelah mendengar apa yang terjadi, Musso dan Amir menuju Madiun untuk mendiskusikan situasi bersama Sumarsono, Setiadjit, dan Wikana.

Pada 19 September 1948 malam, Presiden Soekarno menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan Musso sudah membentuk "Republik Soviet Indonesia".

Pukul 23.30 di hari yang sama, Musso pun menyatakan perang terhadap Indonesia dengan menuding Soekarno dan Hatta menjadi budak imperialisme Amerika dan pengedar Romusha.

Namun setelah itu beberapa pemimpin FDR justru memutuskan untuk berbalik arah dari Musso.

Mereka menyatakan kesediaan untuk berdamai dengan pemerintah Indonesia dan menyiarkan melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukan kudeta, melainkan upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah.

Pada 23 September 1948, Amir juga menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah negara Republik Indonesia, bendera mereka tetap merah putih, dan lagu kebangsaan mereka masih Indonesia Raya.

Sayangnya, pemerintah Indonesia terlihat abai terhadap upaya FDR untuk mengakhiri konflik.

Pemerintah justru menggunakan kesempatan ini untuk menghilangkan sayap kiri di Indonesia.

Pemerintah mengirimkan Brigade Siliwangi Letkol Sadikin untuk mengerahkan pasukannya dan menguasai Madiun.

Pemberontakan ini pun menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, serta beberapa tokoh lainnya.

Guna menghindari konflik dengan TNI, FDR/PKI pun mundur ke pegunungan.

Di bawah komando Amir, mereka melarikan diri dari Madiun dan menuju ke sebuah desa kecil bernama Kandangan, tempat di mana mereka menemukan amunisi dan senjata.

Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka setelah tahu bahwa desa itu sudah diduduki oleh Batalion Divisi Sungkono yang dipimpin oleh Mayor Sabarudin.

Pada 28 Oktober, pemerintah menangkap 1.500 orang dan Musso berhasil ditembak mati pada 31 Oktober 1948 ketika sedang bersembunyi di kamar kecil.

Sebulan kemudian, 29 November, Djoko Sujono dan Maruto Darusman juga ditangkap.

Sementara itu, Amir juga menghadapi nasib yang sama.

Dia ditangkap pada 4 Desember 1948.

Pemberontakan berhasil dipadamkan saat Amir, Maruto, Djoko, Suripno, dan FDR lain yang tertangkap dieksekusi pada 19 Desember 1948.

Perkiraan korban dalam peristiwa ini berjumlah 24.000 orang, 8.000 di antaranya dari Madiun, 4.000 di Cepu, dan 12.000 di Ponorogo.

Begitulah, Pemberontakan PKI pada tahun 1948 adalah upaya disintegrasi bangsa yang dilatarbelakangi oleh adanya beberapa hal, semoga bermanfaat.

Dapatkan artikel terupdate Intisari-Online.com di Google News