Penulis
Intisari-online.com - Pers adalah salah satu media komunikasi yang penting dalam sejarah Indonesia.
Pers telah menjadi saksi dan pelaku dari berbagai peristiwa dan perubahan yang terjadi di tanah air, mulai dari masa kolonial hingga kemerdekaan.
Berikut ini bagaimana perkembangan pers di Indonesia pada masa kolonial Belanda, dari surat kabar pertama hingga pers nasional.
Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen, yang artinya "Berita dan Penalaran Politik Batavia".
Surat kabar ini terbit perdana pada 7 Agustus 1744, dengan menggunakan bahasa Belanda.
Surat kabar ini ditujukan untuk kepentingan perdagangan dan penyebaran agama Kristen di kalangan masyarakat Eropa dan pribumi yang beragama Kristen.
Pada abad ke-19, mulai bermunculan surat kabar yang menggunakan bahasa Melayu, yang umumnya diterbitkan oleh kaum Tionghoa.
Surat kabar ini lebih berorientasi pada kebudayaan, pendidikan, dan sosial daripada politik.
Beberapa contoh surat kabar yang berbahasa Melayu adalah Jawa Bode (1852), Soerabaja Courant (1853), dan Bintang Timoer (1871).
Selain bahasa Melayu, ada juga surat kabar yang menggunakan bahasa daerah setempat, seperti Jawa, Sunda, Bali, dan Minangkabau.
Surat kabar berbahasa Jawa pertama adalah Bromartani, yang diterbitkan di Surakarta pada 29 Maret 1855.
Baca Juga: Mengungkap Puncak Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno Pada Masa Pemerintahan Dinasti Sayilendra
Surat kabar ini berisi tentang berita, cerita, puisi, dan iklan.
Pada akhir abad ke-19, muncul gerakan nasionalisme di Indonesia, yang dipicu oleh faktor-faktor seperti politik etis, pendidikan, dan organisasi sosial.
Gerakan ini juga mempengaruhi perkembangan pers, yang mulai menampilkan semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Salah satu surat kabar yang menjadi pionir pers nasional adalah Medan Prijaji, yang diterbitkan di Bandung pada 1907 oleh Tirto Adhi Soerjo, seorang pengusaha pribumi.
Surat kabar ini mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, menuntut kesetaraan hak, dan mengajak rakyat untuk berjuang demi kemerdekaan.
Pemerintah kolonial Belanda tidak tinggal diam melihat perkembangan pers nasional.
Mereka menerapkan berbagai aturan dan pembatasan untuk mengontrol dan menekan pers, seperti UU tahun 1856 (Drukpersreglement), UU tahun 1918 (Indische Perswet), dan UU tahun 1930 (Persbreidelordonnantie).
Beberapa surat kabar yang diberedel atau dilarang oleh Belanda antara lain adalah De Express (1918), Kaoem Moeda (1921), dan Pemandangan (1931).
Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, pers di Indonesia pada masa kolonial Belanda tetap bertahan dan berkembang.
Pers menjadi salah satu alat utama bagi gerakan nasionalis untuk menyuarakan aspirasi, menyebarkan informasi, dan membangkitkan kesadaran politik rakyat Indonesia.
Pers juga menjadi cikal bakal dari pers kemerdekaan, yang akan terus berperan dalam sejarah Indonesia selanjutnya.