Find Us On Social Media :

Sudah Berlangsung 17 Tahun, Begini Sejarah Aksi Kamisan Depan Istana

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 19 Januari 2024 | 16:11 WIB

Sejarah Aksi Kamisan bermula pada 18 Januari 2007. Sejak itu, setiap Kamis sore, di depan Istana Negara, keluarga korban pelanggaran HAM berat berdiri dan mengenakan baju serba hitam

Intisari-Online.com - Jumat, 18 Januari 2024, kemarin, Aksi Kamisan #AksiKamisan genap berusia 17 tahun.

Itu adalah Aksi Kamisan yang ke-801, dilakukan di depan Istana Negara, Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat.

Bagaimana sejatinya sejarah Aksi Kamisan?

Dalam aksi kamisan itu, para keluarga korban pelanggaran HAM berat serta pegiat hak asasi manusia menagih pertanggungjawaban negara untuk menghadirkan keadilan atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang selama puluhan tahun dibiarkan tanpa penyelesaian.

“Sampai saat ini, menjelang pemilu, tidak ada satu pun yang dituntaskan oleh negara,” kata seorang perempuan melalui pengeras suara.

Peserta Aksi 17 Tahun Kamisan kompak menggunakan pakaian serba hitam.

Mereka juga memakai payung hitam bertuliskan, “Tragedi Talangsari 7 Februari 1989”, “Penculikan Aktivis 1997-1998”, “Tragedi Semanggi I 13 November 1998”, “Tragedi Mei ‘98 13 - 15 Mei 1998”, “Penembakan Misterius 1982 - 1985”, pelanggaran HAM berat yang lain.

Sejak aksi ini berlangsung, mereka hanya berdiam tanpa mengeluarkan satu kata sedikit pun.

Hal tersebut sebagai bentuk negara yang hanya diam begitu saja.

Selain itu, mereka juga terlihat menggunakan penutup mata berwarna hitam.

“Ini juga simbolik, dari begitu banyak kasus, negara tetap menutup mata. Tidak ada satu pun yang terselesaikan,” kata orator.

Aksi Kamisan pertama kali diselenggarakan pada 18 Januari 2007.

Sejak itulah para korban dan keluarga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat beraksi mengenakan pakaian dan atribut serba hitam dan berdiri di depan Istana Negara.

Mereka menuntut tanggung jawab negara dalam menuntaskan kasus HAM berat di Indonesia, seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok dan Tragedi 1965.

Tapi selama itu, belum ada langkah konkret dari negara yang mampu menjawab tuntutan para korban dan keluarga.

Kamisan adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Setiap Kamis pukul 16.00-17.00 WIB, mereka mengenakan pakaian dan atribut serba hitam, berdiri, diam, dan berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM.

Kamisan hadir sebagai bentuk aksi dari para korban dan keluarga Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan korban pelanggaran HAM lainnya.

Mereka meminta negara untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut yang sekarang masih terhambat di Kejaksaan Agung.

Sejak 18 Januari 2007 dimulai, Kamisan kini sudah digelar sebanyak 801 kali.

Salah satu penggagas Kamisan, Maria Katarina Sumarsih mengungkapkan, pada tahun 1999, dirinya bersama korban dan keluarga pelanggaran HAM membentuk sebuah paguyuban, yaitu Paguyuban Korban/Keluarga Korban Tragedi Berdarah 13-15 Mei 1998, Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (24 September 1999), dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK).

“Mereka sampai sekarang berjuang mencari keadilan, tapi ternyata tidak mudah walau Indonesia adalah negara hukum,” kata Sumarsih.

Sumarsih mengisahkan, sejak awal menggelar Kamisan, dirinya pernah mengungkapkan bahwa Kamisan berhenti jika hanya tersisa tiga orang yang melakukan aksi.

“Namun hingga kini justru yang ikut Kamisan makin banyak, terutama anak muda. Sekecil apapun itu harapannya, kami akan terus melakukan Kamisan,” ungkap Ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Unika Atma Jaya Jakarta yang tertembak saat kerusuhan Mei 1998.

Seperti yang diungkapkan Sumarsih, banyak anak muda yang kini ikut berpartisipasi dalam menyerukan Kamisan.

Dia menyebut sudah banyak mahasiswa yang membuat skripsi, disertasi, film, lagu, hingga esai foto tentang Kamisan.

“Siswa SMP dan SMA pun ada yang ikut. Yang membuat film bahkan mendapatkan penghargaan seperti film Payung Hitam karya Chairun Nissa yang diputar di festival film luar negeri,” ucap Sumarsih.

Menurutnya, Kamisan adalah aksi kerja sama dengan aktivis lainnya.

Ia mencontohkan, di Ternate, Palu, dan Samarinda memulai Kamisan yang digagas anak muda.

Sumarsih menyebut di Indonesia sudah ada 30 kota yang menggelar Kamisan hingga saat ini.

Namun demikian, di beberapa kota ada yang mengalami pelarangan Kamisan, bahkan dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tak hanya di Bogor, lanjutnya, di Bukittinggi, Sumatera Barat, juga pernah dilarang di aksi Kamisan ke-13 lantaran dianggap PKI.

Peserta aksi kamisan bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 31 Mei 2018.

Pertemuan itu merupakan yang pertama setelah 11 tahun mereka melakukan aksinya.

Dalam pertemuan itu, peserta Kamisan menuntut agar Jokowi mengakui kasus pelanggaran HAM yang sudah masuk dalam tahap penyelidikan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Kasus itu, yakni seperti tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, penghilangan paksa 13-15 Mei 98, Talangsari, Tanjung Priok, dan tragedi 1965.

Setelah adanya pengakuan dari negara, peserta aksi Kamisan juga menuntut agar kasus-kasus itu segera diproses Kejaksaan Agung.

"Ini menjadi tanggung jawab Jaksa Agung untuk melanjutkan ke tingkat penyidikan," kata Sumarsih.

Begitulah sejarah Aksi Kamisan, panjang umur umur perjuangan, semoga bermanfaat untuk sidang pembaca.