Kota Sawahlunto, Kota Indah Yang Muncul Karena Pertambangan Batu Bara Di Sumatera Barat

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Kota Sawahlunto berkembang seiring dengan dimulainya aktivitas pertambangan batu bara pertama di Indonesia. Sempat mati suri kini hidup lagi.

Intisari-Online.com -Kota Sawahlunto tentu kota yang indah.

Kota ini diwarisi bentang alam yang indah, dan tentu saja karena keberadaan industri pertambangan tertua di Indonesia.

Dari kota ini juga lahir tokoh nasional kelas wahid bernama Muhammad Yamin.

Sawahlunto berada di Provinsi Sumatera Barat, sekitar 95 km dari Kota Padang, ibu kota provinsi.

Kota yang lahir pada 1 Desember 1888 ini dibentuk berdasarkan UU 8/1956.

Dikutip dari Kompas.ID, Sawahlunto merupakan sebagai kota tambang tertua di Indonesia.

Pada masa lalu, Kota Sawahlunto menyimpan kisah kejayaan.

Ia dikenal sebagai bekas kota tambang, Sawahlunto pernah berjaya sejak tambang batu bara dimulai pada 1888.

Saat itu Sawalunto dikenal sebagai pusat tambang batu bara, karena pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini merupakan penyuplai utama bahan bakar bagi angkatan perang negeri kincir angin tersebut.

Setelah penambangan batu bara dihentikan, kota ini sempat mati suri, karena tidak ada lagi andalan yang bisa menghasilkan pendapatan bagi daerah.

Tapi kini kota ini sudah bergeliat lagi--dan tumbuh menjadi kota pariwisata.

Bagaimana tidak, kota ini didukung oleh bangunan tua peninggalan Belanda juga bekas tambang batubara.

Baca Juga: Arie Frederik Lasut, Bapak Pertambangan Indonesia, Pahlawan Nasional, Ditembak Mati Belanda Karena Ogah Kerja Sama

Bekas tambang itu saat ini dikembangkanmenjadi museum dan gedung kebudayaan, sebagai destinasi wisata sejarah eksotik.

Lebih dari 100 objek cagar budaya masih bertahan di tengah sapuan zaman.

Lokomotif uap, terowongan kereta api, hingga lubang tambang masih tersisa sebagai wiyata berbilang masa.

Salah satu yang terkenal adalah peninggalan tambang batu bara Ombilin.

Menurut bukuAsal-usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe yang ditulis Zaenuddin HM dan Sawahlunto Dulu, Kini, Dan Esok yang ditulis Andi Asoka dkk., seperti dilansir Kompas.ID, disebutkan nama Sawahlunto berasal dari dua kata: sawah dan lunto.

Sawah merujuk pada kata sawahyang terletak di sebuah lembah yang dialiri anak sungai yang bernama Batang Lunto.

Anak sungai tersebut itu berhulu di bukit-bukit Nagari Lumindai di sebelah barat dan mengalir ke Nagari Lunto.

Sungai Batang Lunto terus menglir ke area persawahan yang dimiliki anak Nagari Kubang.

Kata luntoberasal dari sebuah legenda pohon besar yang berbunga.

Pohon tersebut ada di pinggir jalan dan selalui dilewati oleh penduduk Nagari Kubang dan Nagari Lunto.

Setiap ada yang bertanya nama pohon tersebut, orang menjawab dengan alun tau yang berarti belum tahu.

Karena diucapkan cepat dengan logat khas daerah, kata alun tau terdengar seperti “lunto”.

Tak ada yang tahu nama pohon tersebut.

Baca Juga: Saat Hayam Wuruk Perintah Raja Melayu Kuasai Sungai Batanghari, Ternyata Pertambangan Di Nusantara Sudah Sejak Majapahit

Namun, sungai yang melintasi daerah tersebut diberi nama Batang Lunto.

Kemudian, daerah tersebut diberi nama Sawahlunto yang dahulunya adalah areal persawahan yang dikelola nenek moyang masyarakat Nagari Kubang.

Dahulu, Sawahlunto adalah desa kecil yang dikelilingi jenggala tak bertuan.

Metamorfosis Sawahlunto sebagai sebuah kota tambang dimulai pada medio akhir abad ke-19.

Saat itu, Belanda tengah fokus melakukan eksplorasi potensi cadangan tambang batu bara untuk mengurangi ketergantungan impor.

Pada 1868, De Greve dan Kalshoven, geolog Belanda menyelidiki adanya batu bara di Sawahlunto.

Menurut laporan de Grave pada tahun 1871, diperkirakan terdapat lebih dari 200 juta ton cadangan “emas hitam” di Sawahlunto.

Saat diteliti, deposit batu bara di daerah itu berjumlah lebih dari 200 juta ton.

Pada 27 Juli 1886 terjadi pembebasan lahan tambang batu bara di Sawahlunto.

Daerah itu diserahterimakan untuk dijadikan areal penambangan batu bara atas dasar akta notaris yang dikeluarkan oleh E.L van Rouvery selaku Asisten Residen Tanah Datar dan Djaar Sutan Pamuncak sebagai kepala Laras Silungkang.

Adapun penerimanya, yaitu Hendrik Yakobus Shuuring, pemegang konsesi pertambangan kolonial Belanda.

Masalah pembebasan tanah ini mengikuti hukum adat Minangkabau.

Baca Juga: Dampak Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil Indonesia, Kasus Pulau Gebe, Pulau Bangka, dan Pulau Romang

Jumlah ganti rugi tak sesuai dengan harga sesungguhnya.

Itu membuat makna ganti rugi itu malah merugikan masyarakat adat.

Pada 1887, diperkirakan Sawahlunto mulai menjadi daerah permukiman, ketika Belanda menanamkan modal sebesar 5,5 juta gulden untuk realisasi konsensi tambang batu bara.

Meski Sawahlunto tumbuh dan berkembang sebagai kota tambang satu-satunya di Sumatera Barat, pemerintah kolonial memperlakukannya sama seperti kota-kota jajahan lainnya.

Sejak 1887, Pemerintah Hindia Belanda melakukan persiapan pembangunan prasarana transportasi kereta api yang menghubungkan dengan pelabuhan Emma Haven.

Kini dikenal dengan Teluk Bayur sebagai penunjang proses ekspor produksi batu bara dari Sawahlunto.

Kota Sawahlunto lebih berfungsi sebagai pusat eksploitasi komoditi daerah sekitarnya.

Sebaliknya juga dijadikan sebagai tempat pemasaran hasil industri Belanda atau negara Eropa lainnya.

Apapun yang dibangun oleh Belanda prinsipnya untuk kepentingan kolonial semata.

Pada 1 Desember 1888, Pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan keputusan tentang batas-batas ibu kota Afdeeling.

Pemerintahan itu setingkat dengan kabupaten pada masa kolonial Belanda.

Pada 1 Desember inilah kemudian dijadikan sebagai ulang tahun Kota Sawahlunto sampai sekarang.

Setelah ditemukannya batu bara di Sawahlunto dan sekitarnya, Belanda mulai membangun pemerintahan di Sawahlunto.

Secara administrasi pemerintahan Hindia Belanda, Sawahlunto termasuk bagian dari wilayah Onderafdeeling VII Koto dalam Afdeling Tanah Datar dan ibu kotanya di Batusangkar.

Onderafdeeling VII Koto yang berpusat di Silungkang terdiri dari enam kelarasan, yaitu Kelarasan Koto Baru, Silungkang, Sijunjung, Koto VII, Padang Sibusuak dan Lubuak Tarok dan pusatnya terletak di Silungkang.

Sawahlunto yang berada dalam Kenagarian Kubang termasuk dalam Kelarasan Silungkang.

Pada masa pendudukan Jepang, perhatian untuk pertambangan batu bara tidak setinggi pada masa sebelumnya.

Hal itu dapat dilihat dari produksi batu bara yang dihasilkan dari Sawahlunto.

Sungguhpun demikian, Jepang menjadikannya sebagai sebuah kota dan menjadi ibukota kabupaten (Ken) Solok dengan ibu kota Sawahlunto.

Oleh karena itu, Bung Tsu Tjo-nya (Bupati: Bung Tsu Tjo) berkedudukan di kota itu.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Sawahlunto dibagi atas 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Sawahlunto Utara dan Kecamatan Sawahlunto Selatan.

Kecamatan Sawahlunto Utara dibagi atas 2 nagari, sedangkan Kecamatan Sawahlunto Selatan terdiri dari 3 nagari.

Tapi ketikaditerapkan UU 5/1979, Sawahlunto dibagi atas 20 kelurahan dan pemerintahan nagari dihapuskan, 8 kelurahan terdapat di Kecamatan Sawahlunto Utara dan 12 kelurahan di Kecamatan Sawahlunto Selatan.

Kota Sawahlunto awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Sawahlunto/Sinjunjung.

Namun, setelah keluarnya PP 44/1990, Kota Sawahlunto memekarkan diri menjadi kota madya yang terdiri atas atas 4 kecamatan, 27 desa dan 10 kelurahan

Meskipun secara adnimistrasi Sawahlunto terdiri dari desa dan kelurahan, secara adat Sawahlunto terbagi atas sepuluh kenagarian, di antaranya kenagarian Lunto, Kubang, Lumindai, Kajai, Talawi, Kolok, Sijantang, Taratak Boncah, Silungkang dan Talago Gunuang.

Kesepuluh nagari ini tersebar di setiap kecamatan di Kota Sawahlunto.

Setiap nagari tentunya memiliki peraturan dan adat tersendiri dalam pemerintahannya.

Begitulah sejarah Kota Sawahlunto, kota yang tumbuh dan berkembang setelah munculnya aktivitas pertambangan batu bara di wilayah itu.

Baca Juga: Punya Kekayaan Alam Melimpah Ini, Dampak Positif dan Negatif Kegiatan Pertambangan di Indonesia

Artikel Terkait