Soekarno vs Malaysia, Kisah di Balik Pengunduran Diri Indonesia dari PBB 56 Tahun Lalu

Afif Khoirul M

Penulis

7 Januari 1965 peristiwa keluarnya Indonesia dari PBB.

Intisari-online.com - Pada 7 Januari 1965, Presiden Soekarno mengumumkan bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Keputusan ini merupakan puncak dari ketegangan dan konflik antara Indonesia dan Malaysia, yang berawal dari pembentukan negara federasi Malaysia pada 1963.

Apa yang menyebabkan Soekarno begitu marah dengan Malaysia dan PBB?

Bagaimana dampak dan reaksi dari keputusan tersebut?

Berikut adalah ulasan singkat mengenai kisah di balik pengunduran diri Indonesia dari PBB 56 tahun lalu.

Latar Belakang: Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah sebuah konflik bersenjata dan diplomasi yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963-1966.

Konflik ini dipicu oleh rencana pembentukan negara federasi Malaysia, yang meliputi Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sarawak, Brunei, dan Sabah.

Indonesia menentang rencana ini karena menganggapnya sebagai proyek neokolonialisme Inggris, yang ingin mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya di Asia Tenggara.

Indonesia juga merasa terancam oleh keberadaan Malaysia, yang dianggap sebagai rival dan ancaman bagi eksistensi Indonesia yang baru merdeka.

Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menerapkan politik anti-imperialis dan anti-Barat, mengumumkan bahwa Indonesia akan mengganyang Malaysia (crush Malaysia) dan melakukan aksi-aksi militer dan infiltrasi di wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari Malaysia.

Baca Juga: 7 Januari 1965, Ketika Indonesia Keluar Dari PBB Gara-gara Malaysia

Indonesia juga mendapat dukungan dari beberapa negara lain, seperti Filipina, Cina, dan Uni Soviet.

Malaysia, yang didukung oleh Inggris dan negara-negara Persemakmuran, berusaha mempertahankan kedaulatan dan integritasnya.

Malaysia juga mendapat simpati dari sebagian besar anggota PBB, termasuk Amerika Serikat, yang menganggap pembentukan Malaysia sebagai langkah positif untuk mencegah penyebaran komunisme di Asia Tenggara.

PBB berperan sebagai mediator dalam upaya penyelesaian konflik ini.

PBB mengirimkan misi pengamat dan peninjau untuk memverifikasi apakah penduduk di Sarawak dan Sabah mendukung pembentukan Malaysia atau tidak.

Hasilnya, mayoritas penduduk setuju untuk bergabung dengan Malaysia.

Namun, Indonesia tidak puas dengan hasil tersebut dan menuduh PBB sebagai alat dari kepentingan Barat.

Indonesia juga menolak untuk mengakui keberadaan Malaysia dan terus melakukan aksi-aksi provokasi dan sabotase.

Klimaks: Indonesia Keluar dari PBB

Pada akhir tahun 1964, ketegangan antara Indonesia dan Malaysia mencapai puncaknya.

Pada 1 Desember 1964, wakil Indonesia di PBB menyampaikan pernyataan keras kepada Sekretaris Jenderal PBB U Thant, yang isinya antara lain:

"Indonesia tidak akan menerima keputusan apapun yang diambil oleh PBB mengenai masalah Malaysia. Indonesia tidak akan menghormati keputusan apapun yang diambil oleh PBB mengenai masalah Malaysia. Indonesia tidak akan mengakui keberadaan Malaysia sebagai negara yang sah. Indonesia tidak akan mengakui keberadaan Malaysia sebagai anggota PBB. Indonesia tidak akan mengakui keberadaan Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB."

Baca Juga: Kecewa Lembaganya Tak Bisa Atasi Israel Serang Palestina, Pejabat Tinggi HAM PBB Mundur

Pernyataan ini merupakan reaksi dari keputusan PBB untuk mengangkat Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 1965-1966.

Indonesia merasa bahwa keputusan ini adalah penghinaan dan pengkhianatan terhadap hak-hak dan kepentingan Indonesia.

Pada 7 Januari 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan pidato yang berjudul "Ganyang Malaysia, Hancurkan Malaysia, Sikat Malaysia".

Dalam pidato tersebut, ia menyatakan bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan PBB dan menarik seluruh perwakilannya dari organisasi tersebut.

Ia juga mengajak negara-negara lain yang merasa tidak puas dengan PBB untuk mengikuti langkahnya.

Berikut adalah kutipan dari pidato Soekarno:

"Maka sekarang karena ternyata bahwa Malaysia dijadikan menjadi anggota Dewan Keamanan, saya menyatakan Indonesia keluar dari PBB. To hell with your UNO. It is better to dissolve it. Better to end UNO. Better to liquidate UNO. Better to finish off UNO. Better to crush UNO. Better to destroy UNO. Better to annihilate UNO."

Dampak dan Reaksi: Indonesia Kembali ke PBB

Keputusan Soekarno untuk keluar dari PBB menimbulkan berbagai dampak dan reaksi, baik di dalam maupun di luar negeri.

Di dalam negeri, keputusan ini mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat dan partai-partai politik, terutama yang berhaluan nasionalis dan komunis.

Mereka menganggap bahwa PBB adalah organisasi yang tidak adil, tidak demokratis, dan tidak relevan dengan kepentingan Indonesia.

Baca Juga: Akar Konflik Israel-Palestina, Berawal dari Inggris dan PBB Membagi Tanah Kanaan

Namun, ada juga sebagian kalangan yang menentang keputusan ini, terutama yang berhaluan Islam dan moderat.

Mereka mengkhawatirkan bahwa keluarnya Indonesia dari PBB akan mengisolasi Indonesia dari dunia internasional dan memperburuk hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga dan sekutu.

Mereka juga meragukan bahwa Indonesia bisa membentuk organisasi baru yang lebih baik dari PBB.

Di luar negeri, keputusan ini mengejutkan dan menyedihkan banyak negara, terutama yang bersahabat dengan Indonesia.

Mereka menganggap bahwa Indonesia adalah negara yang penting dan berpengaruh di Asia dan dunia, dan kehadirannya di PBB sangat dibutuhkan untuk menjaga perdamaian dan kerjasama internasional.

Mereka juga berharap bahwa Indonesia bisa kembali bergabung dengan PBB secepatnya.

Sekretaris Jenderal PBB U Thant menyesalkan keputusan Indonesia dan menganggapnya sebagai "fase temporer".

Ia berusaha untuk menjaga pintu PBB tetap terbuka bagi Indonesia dan mengundang Indonesia untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB yang konstruktif.

Juga berusaha untuk memfasilitasi dialog dan rekonsiliasi antara Indonesia dan Malaysia.

Pada akhirnya, keputusan Soekarno untuk keluar dari PBB tidak bertahan lama.

Setelah terjadi peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965, yang mengguncang stabilitas politik dan keamanan Indonesia, Soekarno mulai kehilangan kekuasaan dan pengaruhnya.

Kenudian digantikan oleh Jenderal Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden Indonesia yang kedua.

Salah satu langkah pertama yang dilakukan oleh Soeharto adalah mengembalikan hubungan Indonesia dengan Malaysia dan PBB.

Pada 19 Juni 1966, Indonesia menyatakan bahwa ia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan mengakui keberadaan Malaysia sebagai negara yang sah.

Pada 28 September 1966, Indonesia menyatakan bahwa ia mengakhiri pengunduran dirinya dari PBB dan kembali menjadi anggota PBB.

Keputusan Soeharto ini mendapat sambutan hangat dari dunia internasional, terutama dari Malaysia dan PBB.

Artikel Terkait