Pertama, mereka lebih mobile dan tidak bergantung pada suplai logistik atau angkutan militer.
Mereka dapat bergerak dengan cepat dan jauh dengan hanya membawa bekal seadanya.
Kedua, mereka lebih terbiasa dengan medan perang di Aceh, baik pegunungan, hutan, lembah, maupun desa-desa.
Mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan menggunakan segala sumber daya yang ada untuk bertahan dan bertempur.
Ketiga, mereka lebih mahir dalam menggunakan senjata tajam seperti klewang atau badik daripada senjata api.
Mereka dapat menghabisi lawan-lawan mereka dalam jarak dekat dengan cepat dan diam-diam.
Pasukan Marsose dikenal sebagai pasukan bayaran Belanda karena mereka tidak memiliki ikatan nasionalisme atau loyalitas terhadap bangsa atau tanah air mereka sendiri.
Mereka hanya mengabdi kepada orang yang membayar mereka, yaitu Belanda.
Mereka tidak peduli siapa lawan mereka, baik itu pribumi atau asing.
Yang penting bagi mereka adalah menyelesaikan tugas dan mendapatkan imbalan.
Oleh karena itu, pasukan Marsose sering dianggap sebagai pengkhianat oleh rakyat Indonesia, terutama rakyat Aceh.