Find Us On Social Media :

Apa Pandangan para Pendiri Bangsa Terkait Isi Mukadimah Terutama Tentang Ketuhanan?

By Ade S, Selasa, 1 Agustus 2023 | 09:03 WIB

Pandangan para pendiri bangsa terkait isi Mukadimah, terutama frasa 'Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'.

Intisari-Online.com - Mukadimah atau pembukaan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan bagian penting yang mencerminkan pandangan dan tujuan dari para pendiri bangsa Indonesia.

Mukadimah berisi tentang dasar-dasar dan cita-cita yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia dalam membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Namun, apa pandangan para pendiri bangsa terkait isi Mukadimah, terutama frasa “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”?

Frasa tersebut merupakan bagian dari naskah asli Mukadimah yang disebut sebagai Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang terdiri dari perwakilan golongan kebangsaan dan golongan Islam.

Panitia Sembilan dipimpin oleh Soekarno, yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia.

Piagam Jakarta disetujui oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 22 Juni 1945.

Isi Piagam Jakarta atau Mukadimah UUD yang dirumuskan Panitia Sembilan

Panitia Sembilan berhasil menyusun naskah Piagam Jakarta atau Mukadimah UUD pada masa reses.

Pada 10 Juli 1945, Sidang Kedua BPUPKI dimulai. Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan melaporkan naskah Piagam Jakarta atau preambule, sebagai berikut.

Baca Juga: Bagaimana Pandangan para Pendiri Bangsa, Termasuk Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno Terhadap Negara Merdeka?

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pandangan para Pendiri Bangsa Terkait Isi Mukadimah Terutama Tentang Ketuhanan

Soekarno membacakan rancangan Piagam Jakarta atau preambule dalam sidang kedua BPUPKI. Para tokoh kemerdekaan yang hadir memberikan tanggapan atas rancangan tersebut.

Salah satu bagian yang menarik perhatian adalah frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Frasa ini ditentang oleh Latuharhary, yang berpendapat dapat menyebabkan kekacauan terhadap adat-istiadat.

Agus Salim menanggapi bahwa masalah antara hukum agama dan hukum adat sudah lama ada dan biasanya sudah terselesaikan.

Kemudian, Dr Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua sidang mengatakan bahwa preambule adalah hasil kerjasama antara golongan Islam dan kebangsaan.

Jika frasa itu dihapus, maka kaum Islam tidak akan menerima preambule tersebut.

Baca Juga: Apakah yang Menjadi Perbedaan Cara Pandang para Pendiri Bangsa Mengenai Dasar Negara Indonesia?

Wongsonegoro dan Djajadiningrat juga memberikan pendapat, frasa itu berpotensi menimbulkan fanatisme karena seakan-akan memaksa orang-orang Islam untuk menjalankan syariat.

Wachid Hasyim turut berkomentar, “Mengingat kepada dasar permusyawaratan sebab paksaan-paksaan tidak bisa terjadi. Jika ada anggota yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.”

Setelah itu, Dr Radjiman menyatakan karena tidak ada penolakan terhadap bagian lain, maka preambule dianggap sudah disetujui.

Hadikoesoemo mencoba memberi saran agar "bagi pemeluk-pemeluknya" dihilangkan saja.

Namun, Soekarno menolak saran tersebut. Akhirnya, semua anggota sidang menyetujui Mukadimah atau yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Meskipun sudah disepakati dalam sidang BPUPKI, frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" ternyata menjadi masalah setelah proklamasi kemerdekaan dilantunkan.

Ada kabar bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia timur akan menolak bergabung Republik Indonesia jika syariat Islam masuk dalam UUD.

Moh Hatta mendengar kabar tersebut dan mengundang perwakilan golongan Islam seperti Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan untuk membahas persoalan tersebut.

Dalam pertemuan informal, mereka sepakat bahwa frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa" demi persatuan dan kesatuan.

Piagam Jakarta kemudian diubah menjadi Pembukaan UUD.

Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan para pendiri bangsa terkait isi Mukadimah, terutama frasa “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, beragam dan dinamis.

Ada yang mendukung, ada yang menolak, ada yang mengusulkan perubahan, dan ada yang mengambil sikap kompromi.

Frasa tersebut akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD demi persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, frasa tersebut tetap memiliki nilai sejarah dan makna yang penting bagi perkembangan Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila.

Baca Juga: Apakah yang Menjadi Persamaan Pemikiran para Pendiri Bangsa Mengenai Dasar Negara Indonesia?