Find Us On Social Media :

Pemberontakan Sunan Kuning dan Perjanjian Giyanti, Dua Penyebab Utama Pemindahan Ibu Kota Mataram dari Kartasura ke Surakarta

By Afif Khoirul M, Senin, 24 Juli 2023 | 07:55 WIB

Puncak dari kemunduran Mataram Islam setelah kematian Sultan Agung terjadinya Perjanjian Giyanti, Mataram pecah jadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 13 Februari 1755 di Desa Janti, Karanganyar, antara VOC, Pakubuwana III, dan Pangeran Mangkubumi.

Perjanjian ini merupakan hasil dari Perang Takhta Jawa Ketiga yang melibatkan tiga calon pewaris takhta Mataram, yaitu Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian Giyanti secara resmi membagi kekuasaan Mataram kepada Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Pakubuwana III tetap menjadi raja Mataram dengan ibu kota di Surakarta, sementara Pangeran Mangkubumi mendirikan kerajaan baru dengan ibu kota di Yogyakarta.

Pangeran Mangkubumi kemudian bergelar sebagai Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Dampak Perjanjian Giyanti

Dampak Perjanjian Giyanti adalah mengakhiri Dinasti Mataram Islam sebagai kerajaan independen.

Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.

Perpecahan ini juga menandai berakhirnya perang saudara yang telah berlangsung selama beberapa tahun.

Selain itu, Perjanjian Giyanti juga memberikan keuntungan bagi VOC yang berhasil memperluas pengaruhnya di Jawa.

Baca Juga: Sejarah dan Misteri Kyai Pleret, Pusaka yang Menjaga Kesultanan Mataram

VOC mendapatkan hak monopoli perdagangan dan hak intervensi politik di kedua kerajaan pecahan Mataram tersebut.

VOC juga mendapatkan hak untuk menempatkan residen-residen Belanda di kedua kerajaan tersebut sebagai wakil VOC.