Kisah Hamengkubuwono II, Sultan Sepuh Mataram yang Tak Gentar Lawan Belanda

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Sosok Hamengkubuwono II
Sosok Hamengkubuwono II

Intisari-online.com - Hamengkubuwono II adalah raja kedua Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792-1810, 1811-1812, dan 1826-1828.

Ia lahir pada 7 Maret 1750 dengan nama Raden Mas Sundoro, putra kelima dari Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Ia dikenal sebagai raja yang keras dan anti terhadap Belanda.

Pada masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai tantangan dan konflik dari pihak Belanda yang ingin menguasai Jawa.

Ia pernah dijatuhkan dan diasingkan oleh Daendels, Raffles, dan Belanda karena sikapnya yang agresif dan menentang kebijakan-kebijakan kolonial mereka.

Ia juga terlibat dalam Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, cucunya dari permaisuri pertama.

Hamengkubuwono II adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda.

Ia tidak pernah menyerah atau tunduk kepada kekuasaan asing.

Ia berusaha mempertahankan kedaulatan dan kehormatan Kesultanan Yogyakarta sebagai bagian dari warisan Mataram.

Ia juga mendukung perlawanan rakyat Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro.

Nantinya, lewat taktik licik, Belanda memperdaya Diponegoro sekaligus menghentikan Perang Jawa pada 1830.

Baca Juga: Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan Sultan Agung yang Menyebabkan Mataram Mencapai Puncak Kejayaan

Dua tahun sebelum Perang Jawa usai, Hamengkubuwono II meninggal pada 3 Januari 1828, tepat hari ini 195 tahun lalu.

Raja Yogyakarta tiga masa berjuluk Sinuhun Sepuh (Raja Tua) ini mati dalam usia 77 tahun dan dimakamkan di Kotagede.

Selama masa pemerintahannya yang pertama (1792-1810), Hamengkubuwono II berusaha memperkuat kedudukan Kesultanan Yogyakarta sebagai penerus Dinasti Mataram.

Ia mengembangkan sistem pemerintahan, ekonomi, dan budaya yang berlandaskan tradisi Jawa.

Kemudian juga memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dengan memberikan bantuan dan perlindungan.

Namun, kebijakan-kebijakan Hamengkubuwono II sering bertentangan dengan kepentingan Belanda yang ingin menguasai sumber daya alam dan manusia di Jawa.

Belanda juga merasa terancam oleh sikap Hamengkubuwono II yang tidak mau tunduk atau menghormati mereka.

Oleh karena itu, Belanda mencari-cari alasan untuk menjatuhkan Hamengkubuwono II dari tahta.

Pada tahun 1810, Belanda berhasil menuduh Hamengkubuwono II mendukung pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja, Bupati Madiun sekaligus penasihat politiknya.

Hamengkubuwono II pun diasingkan ke Cianjur oleh Daendels, Gubernur Jenderal Belanda saat itu. Putranya, Raden Mas Suraja, diangkat menjadi raja baru dengan gelar Hamengkubuwono III.

Namun, tak lama kemudian, Belanda digantikan oleh Inggris yang menguasai Jawa pada tahun 1811.

Baca Juga: Perang Takhta Jawa II Disebut-sebut Sebagai Perang Terbesar Mataram Islam: Amangkurat IV Vs Adik-adiknya

Raffles, Letnan Gubernur Inggris, mengembalikan Hamengkubuwono II ke tahta pada tahun yang sama.

Namun, hubungan antara Hamengkubuwono II dan Raffles juga tidak harmonis.

Hamengkubuwono II menolak untuk menyerahkan tanah-tanah kerajaan kepada Inggris dan mengkritik perlakuan Raffles terhadap rakyat Jawa.

Akhirnya, pada tahun 1812, Raffles kembali mengasingkan Hamengkubuwono II ke Penang dan mengembalikan Hamengkubuwono III ke tahta.

Hamengkubuwono II baru kembali ke Jawa pada tahun 1815 setelah Inggris menyerahkan Jawa kembali kepada Belanda.

Namun, ia tidak diperbolehkan untuk kembali ke Yogyakarta dan harus tinggal di Surabaya.

Pada tahun 1817, ia diasingkan lagi oleh Belanda ke Ambon karena dianggap berbahaya bagi stabilitas kolonial.

Pada tahun 1826, Belanda memutuskan untuk mengembalikan Hamengkubuwono II ke Yogyakarta dan menobatkannya sebagai raja untuk ketiga kalinya.

Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meredam Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, cucu Hamengkubuwono II dari permaisuri pertama.

Belanda berharap bahwa dengan kembalinya Hamengkubuwono II, Diponegoro akan menyerah dan perang akan berakhir.

Namun, harapan tersebut tidak terwujud. Hamengkubuwono II tetap mendukung perjuangan Diponegoro melawan penjajahan Belanda.

Artikel Terkait