Kerajaan Sumedang Larang, sejak berdiri pada abad 8, pernah berganti nama beberapa kali. Terakhir menjadi bawahan Mataram Islam.
Intisari-Online.com -Mungkin tak banyak dari kita pernah mendengar nama kerajaan satu ini: Kerajaan Sumedang Larang.
Sebagai kerajaan bercorak Islam, Kerajaan Sumedang Larang memang tidak sebesar Cirebon atau Banten.
Meski begitu, kerajaan kecil punya pengaruh besar terhadap penyebaran agama Islam di Tanah Sunda.
Kerajaan ini juga disebut sudah ada sejak abad 8.
Kerajaan Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Jawa Barat dan memiliki sejarah yang cukup panjang.
Dalam catatan sejarahnya, kerajaan yang pertama kali didirikan pada abad ke-8 ini sempat mengalami beberapa kali perubahan nama.
Selain itu, Kerajaan Sumedang Larang mengalami tiga periode kekuasaan, yakni menjadi bawahan Kerajaan Sunda-Galuh, menjadi kerajaan Islam berdaulat, dan menjadi kabupaten di bawah Kerajaan Mataram Islam.
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan Kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak Hindu.
Kerajaan ini awalnya bernama Tembong Agung, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih pada abad ke-8 atas perintah Prabu Suryadewata.
Pusat pemerintahannya berada di Citembong Karang, yang saat ini termasuk wilayah Kabupaten Sumedang.
Kemudian saat Prabu Tajimalela, putra Prabu Aji Putih, mewarisi takhta, nama kerajaan diubah menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam.
Prabu Tajimalela pernah berkata "Insun medal, insun madangan", yang artinya "Aku dilahirkan, aku menerangi".
Sementara kata Sumedang berasal dari kata Insun madangan, yang berubah pengucapannya menjadi sun madang, dan selanjutnya berubah menjadi Sumedang.
Prabu Tajimalela kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Prabu Gajah Agung.
Dari Kerajaan Tembong Agung hingga akhirnya menjadi Kerajaan Sumedang Larang, status kerajaan ini adalah menjadi bawahan Kerajaan Sunda-Galuh.
Lalu nantinya bergabung menjadi Kerajaan Pajajaran.
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun, yang memerintah kala itu, telah memeluk Islam dan memerintah bersama suaminya, Pangeran Santri, yang bergelar Ki Gedeng Sumedang.
Ketika kepemimpinan Ratu Pucuk Umun baru saja digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Angkawijaya, Kerajaan Pajajaran runtuh akibat serangan Kesultanan Banten.
Setelah itu, Kerajaan Sumedang Larang mendeklarasikan diri sebagai penerus Kerajaan Pajajaran yang berdaulat penuh.
Di bawah pemerintahan Pangeran Angkawijaya yang bergelar Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Sumedang Larang mencapai puncak kejayaannya.
Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Jawa Barat, kecuali wilayah kekuasaan Kesultanan Banten dan Cirebon.
Ketika Prabu Geusan Ulun turun takhta pada 1601, kekuasaan jatuh ke tangan putranya yang bernama Prabu Suriadiwangsa.
Prabu Suriadiwangsa merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena pada 1620 kerajaan menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Setelah itu, status kerajaan berubah menjadi kabupaten dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Hal ini dilakukan karena Sumedang dijadikan sebagai wilayah pertahanan Mataram dalam menghadapi Banten dan Belanda.