Intisari-online.com - Masjid Agung Surakarta adalah masjid bersejarah yang terletak di kawasan Keraton Surakarta, di sisi barat alun-alun utara.
Masjid ini didirikan oleh Sunan Pakubuwono II, pendiri Keraton Surakarta, pada tahun 1745, setelah keraton dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta karena Keraton Kartasura rusak akibat Geger Pecinan.
Pembangunan masjid ini dilanjutkan oleh Sunan Pakubuwono III sampai selesai pada tahun 1768.
Pada masa Sunan Pakubuwono IV, masjid ini diberi mustaka berbentuk paku bumi di atap masjid.
Pada masa Sunan Pakubuwono VII, antara tahun 1930-1975, masjid ini disempurnakan lagi dengan membangun pawestren (sayap kembar), memperluas serambi, mengganti mustaka, dan membuat pagar tembok.
Masjid Agung Surakarta memiliki arsitektur yang menarik dan unik.
Bangunan masjid ini berbentuk tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak tumpang tiga.
Atap masjid ini terbuat dari genteng yang ditata secara indah dan rapi. Bentuk atap ini menunjukkan pengaruh budaya Jawa yang kuat pada masjid ini.
Selain itu, masjid ini juga memiliki gapura yang bergaya Persia yang dibuat pada era Pakubuwono X.
Gapura ini berperan sebagai pintu masuk utama ke kompleks masjid.
Masjid Agung Surakarta tidak hanya digunakan untuk ibadah saja, tetapi juga untuk kegiatan keraton, seperti grebeg, sekaten, dan lain-lain.
Masjid ini juga menjadi pusat pendidikan Islam dengan adanya Madrasah Mamba'ul Ulum dan pondok pesantren di dalam kompleks masjid.
Di belakang masjid, ada makam para penghulu masjid dan abdi dalem keraton yang berjasa dalam pembangunan dan pemeliharaan masjid.
Masjid Agung Surakarta adalah cagar budaya yang harus dijaga dan dilestarikan keasliannya.
Masjid ini menjadi bukti sejarah perkembangan Islam di Jawa, khususnya di Surakarta.
Masjid ini juga menjadi lambang keagungan dan kebudayaan Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sunan Pakubuwono II dan para penerusnya.
Selain Sekaten dan Grebeg Maulud, Masjid Agung Surakarta juga menjadi tempat pelaksanaan Grebeg Syawal dan Grebeg Besar.
Grebeg Syawal dilakukan untuk memperingati hari raya Idul Fitri, sedangkan Grebeg Besar dilakukan untuk memperingati hari raya Idul Adha.
Kedua upacara ini juga melibatkan gunungan yang berisi hasil bumi dan hewan kurban.
Grebeg Syawal dan Grebeg Besar juga merupakan tradisi peninggalan dari Kerajaan Demak.
Konon, Sunan Kalijaga pernah membuat gunungan untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa yang masih menganut agama Hindu-Budha.
Gunungan tersebut berisi makanan yang disukai oleh masyarakat Jawa, seperti ketupat, opor ayam, dan rendang.
Dengan cara ini, Sunan Kalijaga berhasil menarik perhatian dan simpati masyarakat Jawa.
Grebeg Syawal dan Grebeg Besar juga memiliki makna simbolis bagi Keraton Surakarta.
Gunungan yang berisi hasil bumi melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sedangkan gunungan yang berisi hewan kurban melambangkan pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Dengan membagikan gunungan kepada rakyat, Keraton Surakarta menunjukkan sikap dermawan dan adil kepada rakyatnya.
Grebeg Syawal dan Grebeg Besar juga menjadi ajang silaturahmi antara Keraton Surakarta dengan masyarakat sekitarnya.
Masyarakat dari berbagai latar belakang dan agama dapat ikut serta dalam upacara ini.
Mereka dapat menyaksikan kirab gunungan dari dalam keraton menuju Masjid Agung Surakarta, atau bahkan ikut memperebutkan gunungan tersebut.
Dengan demikian, upacara ini juga menjadi sarana untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan antara Keraton Surakarta dengan masyarakat.