Namun, Ratu Ageng Tegalrejo tidak setuju dengan kepemimpinan anaknya yang dianggap menyepelekan tatanan dan ajaran Islam.
Dia pun memutuskan untuk meninggalkan keraton dan hijrah ke sebuah dusun terpencil yang kemudian dikenal sebagai Tegalrejo.
Di Tegalrejo, Ratu Ageng Tegalrejo hidup sederhana dan giat bertani tanpa meninggalkan ibadah.
Dia juga mengasuh cucunya yang bernama Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro yang dibawa oleh ibunya, Ratu Timur.
Di bawah asuhan neneknya ini, Pangeran Diponegoro tumbuh menjadi sosok yang agamis dan berjiwa pejuang.
Ratu Ageng Tegalrejo wafat pada tanggal 17 Oktober 1803 setelah sakit demam parah akibat tercebur di kolam ikan.
Pada waktu yang bersamaan, Gunung Merapi meletus.
Suasana sangat tegang dan penuh duka karena wafatnya perempuan perkasa ini.
Dia dimakamkan di makam para raja trah Mataram di Pasarean Imogiri Bantul
Seperti disebut di awal, salah satu cucu yang diasuh oleh Ratu Ageng Tegalrejo adalah Pangeran Diponegoro, yang lahir pada 1785 dengan nama Raden Mas Mustahar.
Dia adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III dan Ratu Timur, seorang selir dari Pacitan.
Dia juga memiliki nama Islam Abdul Hamid.