Ratu Ageng Tegalrejo, Permaisuri Mataram Islam Yang Menepi Ke Dusun Terpencil, Jadi Guru Spiritual Pangeran Diponegoro

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Sepak terjang Pangeran Diponegoro tak lepas dari sosok guru spiritualnya, Ratu Ageng Tegalrejo, permaisuri Sultan Hamengkubuwono I.

Sepak terjang Pangeran Diponegoro tak lepas dari sosok guru spiritualnya, Ratu Ageng Tegalrejo, permaisuri Sultan Hamengkubuwono I.

Intisari-Online.com -Ini adalah kisah Ratu Ageng Tegalrejo.

Namanya moncer karena dia adalah guru spiritual Pangeran Diponegoro, pengobar Perang Jawa yang bikin Belanda babak belur.

Tak hanya itu, Ratu Ageng Tegalrejo adalah permaisuri Mataram Islam, istri Sultan Hamengkubuwono I, yang memilih menepi dan hidup di dusun terpencil.

Bagaimana sepak terjang Ratu Ageng Tegalrejo?

Ratu Ageng Tegalrejo merupakan salah satu tokoh perempuan yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.

Dia adalah istri dari Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Ratu Ageng juga merupakan nenek buyut dari Pangeran Diponegoro, pahlawan nasional yang memimpin Perang Jawa melawan Belanda.

Ratu Ageng Tegalrejo lahir pada tahun 1735 dengan nama kecil Niken Ayu Yuwati.

Dia berasal dari keluarga ulama terkemuka di Majangjati, Sragen.

Ayahnya adalah Kiai Ageng Derpoyudho, putra dari Kiai Ageng Datuk Sulaiman atau Kiai Sulaiman Bekel, seorang penyebar Islam di Jawa Tengah.

Leluhurnya juga meliputi Sultan Abdul Kahir I, Sultan Bima yang bertakhta di Sumbawa pada tahun 1621-1640.

Ratu Ageng Tegalrejo menikah dengan Pangeran Mangkubumi, adik dari Sunan Pakubuwono II dari Mataram.

Pada tahun 1746, terjadi Perang Giyanti antara Pangeran Mangkubumi dan Sunan Pakubuwono II yang didukung oleh Belanda.

Ratu Ageng Tegalrejo mendampingi suaminya dalam perang tersebut dan ikut berperan dalam bidang militer.

Dia menjadi panglima Bregada Langen Kesuma, kesatuan pasukan elite perempuan pengawal raja.

Pasukan ini terkenal tangguh dan mahir dalam menggunakan senjata tradisional maupun modern pada zamannya.

Perang Giyanti berakhir pada 1755 yang ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Mataram menjadi dua.

Pangeran Mangkubumi menjadi Raja di Kesultanan Yogyakarta dan mendapatkan wilayah Mancanegara Timur.

Ratu Ageng Tegalrejo menjadi permaisuri pertama dari kesultanan baru ini.

Selain dikenal sebagai perempuan pejuang, Ratu Ageng Tegalrejo juga dikenal sebagai perempuan salihah dan peduli dengan nilai-nilai keislaman.

Dia suka membaca kitab-kitab agama dan merawat adat tradisional Jawa di keraton.

Ratu Ageng Tegalrejo juga membekali cucunya, Pangeran Diponegoro, dengan ilmu agama dan kanuragan.

Pada 1792, Sultan Hamengkubuwono I turun tahta dan digantikan oleh putranya yang bernama Sundoro atau Hamengkubuwono II.

Namun, Ratu Ageng Tegalrejo tidak setuju dengan kepemimpinan anaknya yang dianggap menyepelekan tatanan dan ajaran Islam.

Dia pun memutuskan untuk meninggalkan keraton dan hijrah ke sebuah dusun terpencil yang kemudian dikenal sebagai Tegalrejo.

Di Tegalrejo, Ratu Ageng Tegalrejo hidup sederhana dan giat bertani tanpa meninggalkan ibadah.

Dia juga mengasuh cucunya yang bernama Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro yang dibawa oleh ibunya, Ratu Timur.

Di bawah asuhan neneknya ini, Pangeran Diponegoro tumbuh menjadi sosok yang agamis dan berjiwa pejuang.

Ratu Ageng Tegalrejo wafat pada tanggal 17 Oktober 1803 setelah sakit demam parah akibat tercebur di kolam ikan.

Pada waktu yang bersamaan, Gunung Merapi meletus.

Suasana sangat tegang dan penuh duka karena wafatnya perempuan perkasa ini.

Dia dimakamkan di makam para raja trah Mataram di Pasarean Imogiri Bantul

Seperti disebut di awal, salah satu cucu yang diasuh oleh Ratu Ageng Tegalrejo adalah Pangeran Diponegoro, yang lahir pada 1785 dengan nama Raden Mas Mustahar.

Dia adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III dan Ratu Timur, seorang selir dari Pacitan.

Dia juga memiliki nama Islam Abdul Hamid.

Pangeran Diponegoro merupakan cucu kesayangan Ratu Ageng Tegalrejo, yang memberinya ilmu agama dan kanuragan.

Dia juga mengajarkan kepadanya nilai-nilai keadilan dan perjuangan melawan penjajah.

Pangeran Diponegoro tumbuh menjadi sosok yang agamis, cerdas, dan berjiwa pejuang.

Dia banyak membaca kitab-kitab fikih dan berdiskusi dengan ulama-ulama yang sering datang ke Tegalrejo.

Pangeran Diponegoro juga menghormati adat tradisional Jawa yang diajarkan oleh neneknya.

Sang Pangeran menguasai bahasa Jawa krama inggil dan memakai pakaian Jawa dengan sopan.

Dia juga memiliki bakat dalam membaca watak seseorang melalui raut mukanya.

Pangeran menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun.

Pada tahun 1825, Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa atau Perang Diponegoro melawan pemerintah Hindia Belanda.

Perang ini dipicu oleh kebijakan Belanda yang merampas tanah-tanah milik rakyat dan bangsawan Jawa untuk dijadikan perkebunan kopi dan gula.

Perang ini juga memiliki nuansa mistis dan religius, karena Pangeran Diponegoro dipandang sebagai Ratu Adil yang akan menyelamatkan rakyatnya dari penindasan.

Perang ini juga dianggap sebagai jihad atau perang suci melawan penjajah kafir.

Perang Jawa berlangsung selama lima tahun, dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya yang cukup berhasil mengacaukan pasukan Belanda.

Di luar itu, Ratu Ageng Tegalrejo dan Pangeran Diponegoro adalah dua sosok yang berjasa dalam mempertahankan tanah Jawa dari cengkeraman Belanda.

Mereka adalah contoh dari perempuan dan laki-laki yang tangguh, berani, dan beriman.

Mereka juga menginspirasi generasi-generasi selanjutnya untuk terus berjuang demi kemerdekaan Indonesia.

Artikel Terkait