Find Us On Social Media :

Punya Peran Pentin Saat Kemerdekaan Indonesia Tapi Sosok Ini Harus Merasakan Sedihnya Mati Tanpa Kejelasan

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 24 Mei 2023 | 21:35 WIB

Chaerul Saleh punya peran penting saat Proklamasi Indonesia, tapi kariernya habis setelah Gerakan 30 September 1965.

Chaerul Saleh punya peran penting saat Proklamasi Indonesia, tapi kariernya habis setelah Gerakan 30 September 1965.

Intisari-Online.com - Namanya Chaerul Saleh.

Dia adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang juga bagian dari gerbong Golongan Pemuda yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok.

Tapi sayang, akhir hayatnya menyedihkan.

Pria kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, itu harus menghadapi kematian yang tanpa kejelasan.

Seperti apa ceritanya?

Seperti disebut di awal, Chaerul Saleh punya peran penting dalam mempersiapkan kemerdekaan.

Bersama kelompoknya, Golongan Muda, dia mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu Jepang.

Sepak terjang Chaerul Saleh berlanjut setelah Indonesia merdeka.

Dia beberapa kali ditunjuk sebagia menteri, juga sebagai wakil perdana menteri, juga ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Tapi nasibnya memburuk setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Dia dianggap sebagai bagian dari kelompok yang ingin mengkudeta Bung Karno dari kursi kepresidenan.

Chaerul Saleh pun dijebloskan ke dalam penjara tanpa tahu apa kesalahannya sampai meninggal dunia.

Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo lahir pada 13 September 1916 di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Dia adalah putra dokter bernama Achmad Saleh dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki.

Sebagai anak orang berada, Chaerul Saleh merasakan pendidikan di ELS (Europe Lagere School), sebelum melanjutkan ke HBS (Hoge Burgerlijke School) di Medan.

Ketika memasuki usia 18 tahun, dia pindah ke Jakarta dan meneruskan pendidikan di Koning Willem Drie (KW III).

Pada 1937, Chaerul Saleh melanjutkan pendidikan di Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum).

Tapi, seperti kebanyakan mahasiswa zaman segitu, alih-alih fokus kuliah, Chaerul Saleh lebih banyak terlibat dalam kegiatna politik.

Pendidikannya pun terbengkalai.

Chaerul Saleh tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia alias PPPI.

Ini adalah perkumpulan para mahasiswa di Jakarta dan Bandung yang terbentuk sebelum Sumpah Pemuda.

Dalam perkembangannya, Chaerul Saleh yang dikenal pemberani, militan, dan tegas, tidak hanya menjadi anggota PPPI tetapi dipercaya menjadi sekretaris bahkan ketua organisasi.

Saat Jepang mengusir Belanda pada 1942, Chaerul Saleh menyusup ke Jawatan Propaganda Jepang.

Dia mendapatkan kedudukan sebagai penasihat.

Peran Chaerul Saleh dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia sangat besar.

Ia menjadi salah satu golongan muda yang memprakarsai dicetuskannya proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 tanpa perlu berunding dengan Jepang.

Chaerul Saleh secara tegas menentang sikap kompromis golongan tua menjelang proklamasi kemerdekaan.

Menurutnya, kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia sendiri dan tidak perlu bergantung kepada pertimbangan siapa pun, termasuk PPKI yang dibentuk oleh Jepang.

Saat akhirnya Jepang menyerah kepada Sekutu, Chaerul Saleh bersama golongan muda lainnya mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dia pun terlibat dalam penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, yang membuahkan hasil diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Chaerul Saleh menjadi wakil ketua dan sekretaris Pusat Pemuda.

Dia juga menjadi ketua Komite van Aksi, yang kemudian diganti menjadi Angkatan Pemuda Indonesia (API).

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, Chaerul Saleh turut bersama Divisi Siliwangi melakukan Long March dari Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana.

Di sana dia melakukan perang gerilya bersama Laskar Rakyat.

Sikapnya yang militan dan tidak bersedia berhubungan dengan Belanda dalam bentuk apa pun membuat Laskar Rakyat harus berhadapan dengan pemerintah.

Sejak awal, Chaerul Saleh terang-terangan menolak hasil perundingan Indonesia-Belanda seperti Perundingan Linggarjati, Renville, Roem-Royen, hingga Konferensi Meja Bundar (KMB).

Akibat dari oposisi bersenjata terhadap keputusan KMB, yang dianggap melanggar hukum Pemerintah RI, Chaerul Saleh sempat dipenjara.

Dengan campur tangan Muhammad Yamin yang menjabat Menteri Kehakiman, Chaerul Saleh dibebaskan.

Dia kemudian "dibuang" ke luar negeri dengan dalih tugas belajar ke Eropa.

Chaerul Saleh melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat (1952-1955).

Di Jerman Barat, ia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).

Pada 1956, Chaerul Saleh kembali ke Indonesia.

Kepeduliannya kepada nasib bekas anak buahnya di Laskar Rakyat mendorongnya mengupayakan perbaikan nasib bagi mereka hingga terbentuk Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).

Setelah itu, Chaerul Saleh perlahan masuk ke pemerintahan hingga akhirnya menjadi salah satu penasihat politik sekaligus orang kepercayaan Soekarno.

Berikut ini jabatan dalam kabinet yang pernah dipegang Chaerul Saleh.

Karena itu, ia diberi pangkat Letnan Jenderal Tituler.

Ketika peristiwa G30S meletus, Chaerul Saleh tengah berada di China memimpin delegasi MPRS.

Mengetahui di Indonesia sedang ada upaya kudeta, ia segera pulang.

Namun, sebagai salah satu orang terdekat Soekarno, Chaerul Saleh ternyata tidak luput dari kecaman dan beragam aksi dari lawan politiknya.

Dia masuk dalam daftar hitam yang dicurigai pro-komunis dan terlibat G30S.

Tuduhan selanjutnya, Chaerul Saleh bahkan diisukan melakukan korupsi sebesar 5 juta dollar dan memiliki simpanan kekayaan melimpah.

Chaerul Saleh, yang sempat melakukan perubahan pada Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal sebagai Supersemar bersama Waperdam I Soebandrio, terkena imbas dari surat yang kontroversial itu.

Setelah Supersemar diterima Soeharto, beberapa aksi beruntun yang menggerus kekuasaan Soekarno sebagai presiden dijalankan.

Pada 18 Maret 1966, Soeharto menangkap 15 menteri loyalis Presiden Soekarno yang diduga berhaluan kiri atau komunis, termasuk Chaerul Saleh.

Awalnya, Chaerul Saleh dikenakan tahanan rumah, sebelum akhirnya ditahan tanpa proses peradilan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jakarta.

Chaerul Saleh meninggal pada 8 Februari 1967 dengan masih berstatus sebagai tahanan yang tidak pernah tahu alasan resmi penahanannya ataupun bukti yang memberatkan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Sepeninggalnya, Presiden Soeharto menyatakan bahwa Chaerul Saleh tidak terlibat peristiwa G30S.

Namun, Chaerul Saleh dirasa bertanggung jawab atas masalah "ekonomi" yang kasusnya pun akhirnya ditutup oleh pemerintah pada 29 April 1967.