Find Us On Social Media :

Punya Peran Pentin Saat Kemerdekaan Indonesia Tapi Sosok Ini Harus Merasakan Sedihnya Mati Tanpa Kejelasan

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 24 Mei 2023 | 21:35 WIB

Chaerul Saleh punya peran penting saat Proklamasi Indonesia, tapi kariernya habis setelah Gerakan 30 September 1965.

Sejak awal, Chaerul Saleh terang-terangan menolak hasil perundingan Indonesia-Belanda seperti Perundingan Linggarjati, Renville, Roem-Royen, hingga Konferensi Meja Bundar (KMB).

Akibat dari oposisi bersenjata terhadap keputusan KMB, yang dianggap melanggar hukum Pemerintah RI, Chaerul Saleh sempat dipenjara.

Dengan campur tangan Muhammad Yamin yang menjabat Menteri Kehakiman, Chaerul Saleh dibebaskan.

Dia kemudian "dibuang" ke luar negeri dengan dalih tugas belajar ke Eropa.

Chaerul Saleh melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat (1952-1955).

Di Jerman Barat, ia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).

Pada 1956, Chaerul Saleh kembali ke Indonesia.

Kepeduliannya kepada nasib bekas anak buahnya di Laskar Rakyat mendorongnya mengupayakan perbaikan nasib bagi mereka hingga terbentuk Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).

Setelah itu, Chaerul Saleh perlahan masuk ke pemerintahan hingga akhirnya menjadi salah satu penasihat politik sekaligus orang kepercayaan Soekarno.

Berikut ini jabatan dalam kabinet yang pernah dipegang Chaerul Saleh.

Karena itu, ia diberi pangkat Letnan Jenderal Tituler.

Ketika peristiwa G30S meletus, Chaerul Saleh tengah berada di China memimpin delegasi MPRS.

Mengetahui di Indonesia sedang ada upaya kudeta, ia segera pulang.

Namun, sebagai salah satu orang terdekat Soekarno, Chaerul Saleh ternyata tidak luput dari kecaman dan beragam aksi dari lawan politiknya.

Dia masuk dalam daftar hitam yang dicurigai pro-komunis dan terlibat G30S.

Tuduhan selanjutnya, Chaerul Saleh bahkan diisukan melakukan korupsi sebesar 5 juta dollar dan memiliki simpanan kekayaan melimpah.

Chaerul Saleh, yang sempat melakukan perubahan pada Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal sebagai Supersemar bersama Waperdam I Soebandrio, terkena imbas dari surat yang kontroversial itu.

Setelah Supersemar diterima Soeharto, beberapa aksi beruntun yang menggerus kekuasaan Soekarno sebagai presiden dijalankan.

Pada 18 Maret 1966, Soeharto menangkap 15 menteri loyalis Presiden Soekarno yang diduga berhaluan kiri atau komunis, termasuk Chaerul Saleh.

Awalnya, Chaerul Saleh dikenakan tahanan rumah, sebelum akhirnya ditahan tanpa proses peradilan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jakarta.

Chaerul Saleh meninggal pada 8 Februari 1967 dengan masih berstatus sebagai tahanan yang tidak pernah tahu alasan resmi penahanannya ataupun bukti yang memberatkan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Sepeninggalnya, Presiden Soeharto menyatakan bahwa Chaerul Saleh tidak terlibat peristiwa G30S.

Namun, Chaerul Saleh dirasa bertanggung jawab atas masalah "ekonomi" yang kasusnya pun akhirnya ditutup oleh pemerintah pada 29 April 1967.