Penulis
Intisari-Online.com -Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan Islam terbesar dan terkuat di Nusantara yang berdiri pada abad ke-16 dan runtuh pada abad ke-18.
Kerajaan ini mengalami pasang surut dalam sejarahnya, mulai dari masa keemasan hingga masa kemunduran.
Salah satu aspek yang menarik untuk dikaji adalah kehidupan politik kerajaan Mataram Islam.
Bagaimana kerajaan ini mampu membangun dan mempertahankan kekuasaannya di tengah tantangan dan konflik yang ada?
Bagaimana pula kerajaan ini berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan lain baik di dalam maupun di luar Nusantara?
Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengulas kehidupan politik kerajaan Mataram Islam sejak berdiri hingga runtuh.
Sejarah Berdirinya Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18.
Kerajaan ini berasal dari pemberontakan Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan, terhadap Sultan Hadiwijaya dari Pajang.
Sutawijaya kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan Senopati pada tahun 1586. Ia membangun ibukota kerajaannya di Kotagede, Yogyakarta.
Baca Juga: Penyebab Kegagalan Mataram Islam Ketika Menyerang VOC di Batavia
Puncak Kejayaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
Sultan Agung bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir VOC dari Batavia.
Ia berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Cirebon, Madura, Sukadana di Kalimantan, dan Palembang di Sumatera.
Ia juga memindahkan ibukota kerajaannya ke Karta, sekarang Kota Gede.
Sultan Agung dua kali menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629, namun gagal karena kalah persenjataan, kurangnya perbekalan makanan, jarak yang jauh, dan wabah penyakit.
Serangan-serangan ini menguras tenaga dan sumber daya kerajaan.
Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645, kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran akibat konflik internal dan campur tangan Belanda.
Kehidupan Politik Kerajaan Mataram Islam
Kehidupan politik kerajaan Mataram Islam ditandai oleh sistem feodalisme, di mana raja merupakan pemilik seluruh tanah kerajaan beserta seluruh isinya.
Raja juga memiliki peran sebagai panatagama, yaitu sebagai pengatur kehidupan agama Islam.
Baca Juga: Terungkap, Ini Tujuan Belanda Memecah Belah Kerajaan Mataram Islam
Raja dibantu oleh para pejabat tinggi seperti patih, tumenggung, adipati, dan bupati yang mengurus urusan pemerintahan, perang, dan peradilan.
Kerajaan Mataram Islam juga memiliki hubungan politik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara maupun di luar Nusantara.
Hubungan ini bisa bersifat damai atau konfliktual tergantung pada kepentingan masing-masing pihak.
Salah satu hubungan politik yang penting adalah dengan VOC, yang awalnya merupakan mitra dagang namun kemudian menjadi musuh bebuyutan karena persaingan ekonomi dan politik.
Kerajaan Mataram Islam akhirnya pecah menjadi dua bagian pada tahun 1755 setelah ditandatangani Perjanjian Giyanti yang disepakati bersama VOC.
Perjanjian ini membagi wilayah kerajaan menjadi Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono I dan Kesultanan Surakarta di bawah Sunan Pakubuwono II.
Perpecahan ini menandai berakhirnya kekuasaan kerajaan Mataram Islam di Jawa.
Baca Juga: Siapa Pemimpin Mataram Islam pada Masa Keemasan? Apa Pencapaiannya?