Namun, di dekat Pantai Luwu, kapal itu diterjang ombak besar hingga terbelah menjadi tiga bagian.
Bagian-bagian kapal itu terdampar di desa Ara, Tanah Beru, dan Lemo-Lemo.
Penduduk ketiga desa itu kemudian menyatukan dan merangkai keping-keping perahu itu sehingga kembali berbentuk kapal.
Nama pinisi sendiri diyakini berasal dari gabungan dua kata, yaitu picuru (contoh yang baik) dan binisi (sejenis ikan kecil yang lincah dan tangguh).
Ada pula yang berpendapat bahwa nama pinisi berasal dari bahasa Bugis, panisi, yang artinya sisip.
Hal ini karena pembuatan kapal pinisi tidak menggunakan bahan perekat, melainkan kayu-kayu direkatkan menggunakan pasak kayu.
Tradisi pembuatan kapal pinisi tetap dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Bugis.
Pembuatan kapal ini biasanya dipimpin oleh seorang punggawa yang bertugas mengatur dan memberi perintah dari proses awal hingga akhir.
Pengetahuan tentang pembuatan kapal ini diwariskan turun-temurun tanpa ada catatan tertulis.
Kapal pinisi tidak hanya digunakan untuk berlayar dan berdagang, tetapi juga untuk wisata bahari.
Banyak wisatawan lokal maupun asing yang tertarik untuk menaiki kapal pinisi dan menikmati pemandangan laut Indonesia.
Salah satu destinasi wisata yang populer dengan kapal pinisi adalah Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur.
Kapal pinisi merupakan salah satu kebanggaan bangsa Indonesia di bidang maritim.
Kapal ini menunjukkan kecerdasan, kreativitas, dan ketangguhan suku Bugis dalam menghadapi tantangan lautan.
Kapal ini juga menjadi saksi sejarah perjalanan suku Bugis dalam menjalin hubungan dengan berbagai bangsa dan budaya di dunia.