Intisari-online.com -Rempah-rempah adalah komoditas yang sangat diminati oleh bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-15.
Rempah-rempah seperti lada, cengkih, pala, dan kayu manis memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena digunakan sebagai bumbu masak, obat-obatan, pewangi, dan pengawet makanan.
Namun, sumber rempah-rempah terbatas dan hanya tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia.
Indonesia menjadi salah satu wilayah strategis yang diincar oleh negara-negara Eropa untuk menguasai perdagangan rempah-rempah.
Portugis, Spanyol, Inggris, dan Prancis bersaing untuk mendapatkan akses ke sumber rempah-rempah di Nusantara.
Namun, pada akhirnya Belanda berhasil mendominasi perdagangan rempah-rempah di Indonesia melalui perusahaan dagangnya yang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia yang didirikan pada tahun 1602 di Amsterdam.
VOC dibentuk dari gabungan empat perusahaan dagang Belanda yang sebelumnya bersaing di Asia.
VOC mendapatkan hak istimewa dari pemerintah Belanda untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Asia selama 21 tahun.
VOC juga diberi kewenangan untuk menjalin perjanjian dengan penguasa lokal, mencetak uang, membentuk tentara, dan memerangi pesaingnya.
VOC datang ke Indonesia dengan tujuan untuk mengeruk kekayaan rempah-rempah dan melakukan monopoli perdagangan.
Baca Juga: Penaklukan Batavia oleh VOC Mengawali Kisah Kelam Para Gundik
VOC paling gencar melakukan monopoli perdagangan di Maluku, tempat tumbuhnya cengkih dan pala.
Untuk mewujudkan rencananya, VOC menerapkan sejumlah kebijakan ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia, antara lain:
Hak ekstirpasi: hak untuk menebang atau memusnahkan tanaman rempah-rempah saat hasil produksinya melebihi ketentuan.
Tujuannya adalah untuk mencegah harga rempah-rempah merosot di pasaran. VOC tidak memberikan ganti rugi kepada petani yang tanamannya ditebang.
Verplichte leverantie: penyerahan paksa hasil bumi kepada VOC dengan harga yang ditentukan oleh VOC.
Hasil bumi yang harus diserahkan antara lain lada, kayu, kapas, beras, nila, dan gula.
Monopoli perdagangan: larangan menjual rempah-rempah kepada pihak lain selain VOC. Jumlah tanaman rempah-rempah beserta lokasi lahannya juga harus ditentukan oleh VOC.
Kebijakan-kebijakan ini membuat VOC mendapatkan keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah.
Pada tahun 1637, nilai aset VOC mencapai 78 juta gulden atau setara dengan 7,9 triliun dolar AS atau 112,6 kuadriliun rupiah saat ini.
Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan modern saat ini seperti Apple, Amazon, atau Google, nilai aset VOC masih lebih besar.
Selain itu, VOC juga menjadi perusahaan pertama yang melakukan penawaran saham publik (IPO) pada tahun 1602.
Baca Juga: Begini Duduk Perkara Mataram Islam Pecah Jadi Dua Dan Betapa Liciknya Politik Adu Domba Belanda
IPO ini bertujuan untuk mengumpulkan modal tambahan untuk membiayai operasional perusahaan.
Saham-saham VOC diperdagangkan di bursa saham pertama di dunia yang berlokasi di Amsterdam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekayaan VOC sangat bergantung pada rempah-rempah Indonesia.
Namun kekayaan tersebut diperoleh dengan cara yang tidak adil dan menindas rakyat Indonesia. Selama beroperasi di Indonesia selama sekitar 200 tahunsejak 1602.
VOC mendapatkan kekayaan besar dari perdagangan rempah-rempah dan komoditas lainnya dengan cara monopoli dan penindasan terhadap rakyat Indonesia.
Namun, ada perbedaan pendapat tentang seberapa kaya VOC sebenarnya.
Beberapa sumber mengklaim bahwa VOC adalah perusahaan terkaya di dunia sepanjang masa dengan nilai aset mencapai 78 juta gulden atau setara dengan 7,9 triliun dolar AS atau 112,6 kuadriliun rupiah saat ini.
Jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan modern saat ini seperti Apple, Amazon, atau Google, nilai aset VOC masih lebih besar.
Namun, klaim ini dipertanyakan oleh beberapa ahli sejarah ekonomi yang mengatakan bahwa tidak ada data yang valid dan akurat tentang nilai aset VOC sepanjang masa.
Mereka juga mengatakan bahwa perbandingan antara VOC dan perusahaan modern tidak tepat karena menggunakan metode dan standar yang berbeda.
Selain itu, VOC juga mengalami banyak masalah keuangan seperti utang, korupsi, dan persaingan yang menyebabkan kemunduran dan kebangkrutan pada akhirnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekayaan VOC adalah sebuah fenomena yang sulit untuk diukur dan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain.
Namun, yang pasti adalah bahwa VOC telah memperoleh keuntungan besar dari sumber daya alam Indonesia dengan cara yang tidak adil dan menindas rakyat Indonesia selama berabad-abad.