Find Us On Social Media :

Agresi Militer Belanda: Kisah Perjuangan Umat Islam Indonesia Menjaga Kemerdekaan Pada Bulan Ramadhan

By Afif Khoirul M, Jumat, 24 Maret 2023 | 15:04 WIB

Foto Agresi Militer Belanda 1 pada bulan ramadhan.

Intisari-online.com - Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Umat Islam Indonesia memiliki sejarah panjang dalam berjuang melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan.

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan itu adalah agresi militer Belanda pada bulan puasa.

Apa itu agresi militer Belanda?

Agresi militer Belanda adalah serangan yang dilakukan oleh tentara Belanda kepada Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat pada tahun 1947 dan 1948.

Agresi militer ini bertujuan untuk menguasai kembali Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Agresi militer Belanda terjadi dua kali, yaitu agresi militer pertama pada 21 Juli-5 Agustus 1947 dan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948-5 Januari 1949.

Agresi militer pertama berkode actie product (aksi atau operasi produk), sedangkan agresi militer kedua berkode actie kraai (aksi atau operasi gagak).

Dalam artikel ini, Intisari Online akan membahas tentang agresi militer Belanda yang pertama, yang terjadi pada awal bulan puasa Ramadan 1366 Hijriyah atau bertepatan dengan 21 Juli 1947.

Mengapa Belanda menyerang pada bulan puasa?

Belanda menyerang pada bulan puasa kemungkinan karena menganggap orang Indonesia yang mayoritas Muslim sedang berpuasa sehingga dalam keadaan lemah.

Baca Juga: Jadwal Imsak dan Buka Puasa Ramadhan 2023 di Yogyakarta dan Sekitarnya

Selain itu, Belanda juga ingin mematahkan semangat perjuangan rakyat Indonesia yang sedang menghadapi masalah ekonomi, politik, dan sosial akibat perang kemerdekaan.

Belanda mengerahkan kekuatan angkatan darat, laut, dan udara yang besar dan modern untuk melancarkan serangan di Jawa dan Sumatera.

Menurut J.A. de Moor, penulis biografi Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia.

Dalam agresi ini Spoor mengomando kekuatan tempur sebanyak 96.000 pasukan, 75.000 di Jawa dan 21.000 di Sumatera.

Bagaimana reaksi umat Islam Indonesia?

Umat Islam Indonesia tidak tinggal diam menghadapi agresi militer Belanda.

Mereka tetap berpuasa sambil berperang dengan penuh semangat dan keimanan.

Mereka mengikuti contoh Rasulullah Muhammad SAW yang pernah berperang melawan musuh secara fisik saat berpuasa di bulan Ramadhan, yaitu dalam Perang Badar tahun kedua Hijriah.

Sebelum agresi terjadi, para ulama Aceh dalam rapat umum di pekarangan Mesjid Raya Baiturrahman menyerukan “puasa tidak menghalangi seseorang untuk berjuang.

Karena itu sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah.”3

Residen Aceh juga menyerukan supaya umat Islam di Aceh senantiasa siap-sedia menghadapi segala kemungkinan yang datang sebagai akibat keserakahan Belanda: “Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan.

Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa.

Baca Juga: 4 Peristiwa Sejarah di Indonesia yang Terjadi pada Bulan Ramadhan: Dari Kongres Boedi Oetomo Hingga Agresi Militer Belanda

Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan saja dan dimana saja.”

Bagaimana perlawanan umat Islam Indonesia?

Umat Islam Indonesia tidak menyerah begitu saja kepada agresi militer Belanda. Mereka melakukan perlawanan dengan berbagai cara, baik secara militer maupun sipil.

Beberapa contoh perlawanan umat Islam Indonesia adalah:

Di Aceh, para ulama dan santri membentuk pasukan gerilya yang disebut Laskar Pejuang Rakyat Aceh (LAPERA) yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Mereka berjuang di hutan-hutan dan pegunungan untuk mengganggu jalur komunikasi dan transportasi Belanda.

Mereka juga melakukan serangan-serangan mendadak dan bai’at bersama untuk memperkuat semangat jihad1.

Di Jawa Barat, para pejuang Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution melakukan strategi gerilya dengan memanfaatkan medan pegunungan dan persawahan.

Mereka juga mengandalkan dukungan rakyat dan ulama seperti KH Zainal Mustafa dan KH Abdullah Syafi’i.

Di Jawa Tengah, para pejuang Diponegoro yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto melakukan pertempuran sengit di Ambarawa melawan pasukan Belanda yang lebih besar dan lebih kuat.

Mereka berhasil mempertahankan kota tersebut selama 19 hari dengan bantuan rakyat setempat.

Baca Juga: Raden Ronggo, Inspirasi Pangeran Diponegoro Lawan Belanda, Pernah Ditetapkan Sebagai Pengkhianat Mataram

Di Jawa Timur, para pejuang Arek-Arek Suroboyo yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soedirman melakukan perlawanan di Surabaya dengan menghadapi serangan udara dan laut Belanda.

Mereka juga melakukan sabotase dan penghadangan terhadap pasukan Belanda yang masuk ke kota tersebut.

Di Sumatera Selatan, para pejuang Komando Tentara Rakyat Palembang (KTRP) yang dipimpin oleh Kolonel Barlian melakukan perlawanan di Palembang dengan menguasai beberapa pos penting seperti bandara, pelabuhan, dan stasiun kereta api.

Mereka juga berhasil mengevakuasi Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari Palembang ke Yogyakarta.

Agresi militer Belanda tidak berhasil mencapai tujuannya untuk menguasai kembali Indonesia.

Meskipun Belanda berhasil menduduki beberapa kota besar dan daerah strategis di Jawa dan Sumatera, mereka tidak bisa menghancurkan semangat perjuangan rakyat Indonesia yang terus melakukan gerilya dan sabotase.

Agresi militer Belanda juga mendapat kecaman dari dunia internasional, terutama dari negara-negara Asia dan Afrika yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.

Bahkan, Amerika Serikat sebagai sekutu Belanda dalam Perang Dunia II juga menentang agresi tersebut karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Akhirnya, Belanda terpaksa menghentikan agresinya setelah tekanan dari Dewan Keamanan PBB yang menuntut agar Belanda menghormati gencatan senjata dengan Indonesia.

Pada 4 Agustus 1947 Belanda menyetujui gencatan senjata tersebut dengan syarat bahwa Indonesia harus membentuk pemerintahan federal yang melibatkan negara-negara boneka buatan Belanda seperti Negara Pasundan, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dll.

Namun, Indonesia menolak syarat tersebut karena bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa.

Indonesia tetap berpegang pada konsep negara kesatuan berdasarkan UUD 1945.

Oleh karena itu, konflik antara Indonesia dan Belanda masih berlanjut hingga agresi militer kedua pada tahun 1948.