Find Us On Social Media :

Begini Duduk Perkara Mataram Islam Pecah Jadi Dua Dan Betapa Liciknya Politik Adu Domba Belanda

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 17 Maret 2023 | 16:28 WIB

perjanjian Giyanti menjadi penanda pecahanya Mataram Islam jadi dua: Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. berkat politik adu domba VOC.

perjanjian Giyanti menjadi penanda pecahanya Mataram Islam jadi dua: Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. berkat politik adu domba VOC.

Intisari-Online.com - Bisa kita bayangkan, betapa kuatnya Mataram Islam jika tidak terpecah-pecah.

Perpecahan di kalangan internal Mataram Islam yang paling diingat oleh khalayak adalah pecahnya Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Proses perpecahan itu ditandai dengan adanya Perjanjian Giyanti 1755.

Secara garis besar, perjanjian yang berlangsung pada 13 Februari 1755 ini adalah sebuah perjanjian antara VOC dan Mataram Islam.

Pihak Mataram Islam sendiri diwakili oleh Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwana III.

Lokasinya di Desa Giyanti yang saat ini masuk wilayah Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Peristiwa ini menjadi penyebab pecahnya wilayah Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Perjanjian Giyanti juga dikenal sebagai babak baru dari peradaban kerajaan-kerajan di Pulau Jawa.

Menurut beberapa sumber, Perjanjian Giyanti berawal dari perpecahan akibat konflik yang telah timbul antar keluarga kerajaan Mataram Islam.

Yang terlibat dalam konflik tersebut adalah Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.

Perpecahan itu terjadi setelah diangkatnya pewaris takhta Mataram Islam yaitu Pangeran Prabusuyasa dengan bergelar Pakubuwana II.

Pangeran Prabusuyasa sendiri adalah anak dari Amangkurat IV dan adik dari Pangeran Arya Mangkunegara.

Pengangkatan itu ternyata mengusik hati Raden Mas Said.

Sebagai keponakan Raja, Pangeran Sambernyawa meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannya sendiri.

Dia beralasan, ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV.

Dalam banyak catatan, disebutkan Pangeran Arya Mangkunegara dikenal sebagai sosok yang sering menentang kebijakan VOC.

Itulah kenapa, alih-alih diangkap sebagai penguasa Mataram, dia diasingkan oleh Belanda ke Srilanka hingga meningga dunia.

Selain itu, pertikaian juga dipicu oleh keputusan Pakubuwana II yang memindahkan ibu kota kerajaan dari dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.

Tapi sejatinya perpindahan keraton ini juga bukan tanpa sebab.

Pada 1742, muncul pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Garendi atau Sunan Guning.

Pemberontakan ini berhasil menghancurkan Keraton Kartasura.

Beberapa alasan di atas membuat Pangeran Sambernyawa semakin yakin soal haknya sebagai perwaris takhta kerajaan.

Dia kemudian berkeinginan merebut tahta Mataram Islam dari pamannya.

Raden Mas Said lalu berkongsi dengan pamannya yang lain, Pangeran Mangkubumi, melawan Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.

Maka ketika Pakubuwana II wafat pada 20 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi memanfaatkan kekosongan pemerintahan untuk mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam.

VOC tidak mau mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat ia memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC.

Situasi memanas ketika VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III.

Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kemudian kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.

Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC kemudian menyusun siasat adu domba antara kedua tokoh tersebut.

VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya.

Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil, karena pada 1752 terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III.

Pada 22-23 September 1754 VOC mengadakan perundingan dengan mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, serta kerjasama VOC dengan kesultanan.

Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Isi Perjanjian Giyanti

1. Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah dengan separuh dari kerajaan Mataram.

Hak kekuasan diwariskan secara turun-temurun.

2. Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.

3. Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur.

Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.

4. Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.

5. Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.

6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746.

Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.

7. Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.

8. Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.

9. Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.

Perjanjian Giyanti memberikan dampak besar dari keberlangsungan pemerintahan pasca terbelahnya Mataram Islam.

Salah satunya adalah sebagai bukti berhasilnya politik adu domba yang dilakukan oleh VOC.

Selain itu, berikut adalah beberapa poin dari dampak Perjanjian Giyanti:

1. Terbelahnya wilayah Mataram Islam menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

2. Wilayah Kerajaan Mataram Islam di sebelah timur Sungai Opak (yang mengalir dekat Candi Prambanan) dikuasai oleh Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin Susuhunan Pakubuwana III.

3. Sedangkan wilayah Kerajaan Mataram Islam di sebelah barat Sungai Opak dikuasai oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I

4. Riwayat Kerajaan Mataram Islam telah berakhir baik secara de facto maupun de jure.