Penulis
Intisari-Online.com -PernyataanMenteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tentang laporan adanya aliran dana mencurigakan sebesar Rp300 triliun di Kementerian Keuangan ditanggapi beragam oleh masyarakat Indonesia.
Sebagian ada yang mengaku terkejut, sementara sebagian lainnya justru mengaku bahwa informasi tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.
Masyarakat Indonesia seperti terbiasa dengan polah korupsi para pejabat di Indonesia yang sudah terekam dalam catatan sejarah seperti pada kasus pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan.
Pembangunan jalan yang membentang sejauh 1.000 kilometer dari Banten hingga Situbondo tersebut sebelumnya disebut dilakukan melalui sistem kerja paksa.
Namun, belakangan disebutkan bahwa sebenarnya pemerintah Belanda sudah menyiapkan dana untuk upah yang kemudian dikorupsi oleh pihak Indonesia sendiri.
Siapa yang tega melakukannya? Dan sebenarnya berapa besar upah yang ditelah digelontorkan oleh pihak Belanda? Simak ulasannya di bawah ini.
Aliran dana 'liar' di Kemenkeu
Seperti diketahui, Mahfud MD mengakutelah menerima laporan adanya pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan.
Pergerakan uang tersebut sebagian besar terjadi di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
"Saya sudah dapat laporan yang pagi tadi, terbaru malah ada pergerakan mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan yang sebagian besar ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai, itu yang hari ini," katanya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (8/3/2023), seperti dilansir dari kompas.com, Sabtu (11/3/2023).
Sebagai Ketua Tim Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Mahfud mengaku telah menyampaikan laporan mengenai adanya transaksi yang mencurigakan di Kemenkeu, yang tidak terkait dengan kasus Rafael Alun Trisambodo.
Dalam hal transaksi mencurigakan yang melibatkan eks Kepala Bagian Umum Ditjen Pajak Jakarta Selatan, Rafael Alun Trisambodo, yang mencapai Rp500 miliar, Mahfud mengungkapkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyelidikinya.
Korupsi 'bertopeng' kerja paksa
Sebagian masyarakat Indonesia pun kemudian menganggap bahwa apa yang disampaikan oleh Mahfud MD hanyalah sebuah rahasia umum.
Mereka menganggap bahwa publik sebenarnya sudah tahu adanya tikus-tikus di lingkungan pejabat negara, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan.
Namun, hal tersebut tak terbongkar karena memang belum ada momentum seperti kasus Rafael Alun yang dipicu oleh kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya Mario Dandy.
Apalagi, dalam sejarahnya Indonesia bisa disebut cukup kental dengan praktik korupsi, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda.
Salah satu kasus korupsi yang paling membuat masyarakat Indonesia "muak" adalah dalam pembangunanJalan Raya Pos Anyer-Panarukan.
Maklum, selama beberapa dekade, buku-buku pelajaran sejarah di Indonesia bahwa pembangunan jalan tersebut dilakukan melalui sistem kerja paksa.
Masyarakat Indonesia kala itu disebutkan dipaksa untuk bekerja setengah mati tanpa diberikan upah sepeser pun.
Padahal, belakangan terkuak bahwa sebenarnya pada saat itu pihak Belanda sudah mengalokasikan dana untuk upah para pekerja, yang sayangnya ternyata malah dikorupsi.
Darah koruptor
Proyek pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sebenarnya bukanlah kerja paksa sepenuhnya.
Para pekerja yang terlibat dalam proyek tersebut memperoleh upah dari pemerintah, namun pembayaran upah tersebut diberikan melalui penguasa lokal yang bekerja di bawah Deandels.
Karena sistem pembayaran ini, uang upah yang seharusnya diterima oleh para pekerja tidak sampai pada mereka. Hal ini mengakibatkan banyak pekerja meninggal dunia.
Sebagai contoh, di daerah Jawa Tengah, Deandels memerintahkan para bupati untuk menyediakan sejumlah tenaga kerja.
Para pekerja ini akan diberikan upah sebesar 10 sen ditambah dengan beras dan garam setiap minggunya.
Namun, pembayaran ini tidak pernah dicatat oleh para bupati dan tidak dapat ditemukan dalam arsip sejarah Indonesia, Belanda, dan Prancis.
Pada tahun 1808, dana sebesar 30.000 gulden yang disiapkan oleh Deandels untuk membayar para pekerja habis, sehingga tidak ada lagi dana yang tersedia untuk melanjutkan proyek pembangunan jalan.
Kondisi ini akhirnya menyebabkan terjadinya kerja paksa tanpa upah.