Penulis
Intisari-Online.com -Fenomena 'Nyai' dimulai sejak awal pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad ke -19.
Tepatnya yakni saat jumlah perempuan Eropa sangat sedikit jumlahnya dibandingkan jumlah prianya.
Pada umumnya Nyaibertugas sebagai pengurus dalam rumah kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda.
Lebih jauh, terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pernyaian atau pergundikan, yaitu perkebunan-perkebunan.
Berubahnya lahan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran terutama terjadi setelah tahun 1870.
Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan.
Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.
Perekrutan buruh kuli pun dilakukan demi memenuhi kebutuhan tenaga kuli yang banyak di perkebunan.
Kuli-kuli diambil dari daerah-daerah yang padat penduduknya, tidak hanya dari kaum pribumi tetapi ada juga kuli yang berasal dari China dan Malaysia.
Mereka berasal dari lapisan masyarakat paling rendah di pedesaan, yaitu kaum proletar yang tidak memiliki apa-apa.
Jika sebelumnya mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan, setelah direkrut untuk bekerja di perkebunan mereka pun kembali kepada kondisi yang tidak jauh berbeda, tanpa harapan.
Baca Juga: Kisah Gundik Pribumi yang Semakin Cantik Malahan Bernasib Buruk
Para majikan Eropa menganggap buruh-buruh kuli sebagai bagian inventaris yang dapat dijadikan hak milik dengan mudah.
Kebutuhan buruh kontrak yang semakin meningkat menyebabkan pengusaha perkebunan melakukan perekrutan buruh perempuan pribumi dalam skala besar.
Status rendah para perempuan buruh, rasisme, dan superioritas lelaki Belanda membuat para nyai sering mengalami kekerasan seksual dan penyiksaan.
Pengalaman pahit itu juga menimpaperempuan asal Jawa sebagaimana dicatat oleh pegawai Departemen Hukum JTL Rhemrev.
Seorang pegawai perkebunan Belanda juga diceritakan mengurung dan menyiksa perempuan Jawa bernama Karimah di dalam kamarnya.
Kekerasan yang dilakukan bahkan melibatkan pemukulan hingga berdarah.
Struktur sosial dalam perkebunan swasta di Hindia Belanda tidak jauh berbeda dengan struktur dalam masyarakat Hindi Belanda secara umum.
Kelompok Eropa tetap berada di puncak hierarki, sedangkan kaum pribumi yang mayoritas berada paling bawah.
Yang membedakan adalah kedudukan, fungsi, dan peranannya dalam perkebunan itu sendiri.
Mereka juga kadang diberikan kepada sesama lelaki Belanda sebagai kado.
Banyak gundik yang memilih mengakhiri hidupnya daripada menanggung malu.
Baca Juga: Tolak Dijadikan Gundik, Wanita Ini Disalib dan Dilumuri Cabai Spanyol
Namun, ada juga yang melakukan perlawanan dengan lembut dan sembunyi-sembunyi.
Baca Juga: Fenomena 'Nyai,' Wanita Pendamping Lelaki Eropa yang Kaya Ilmu Lokal
(*)