Tolak Dijadikan Gundik, Wanita Ini Disalib dan Dilumuri Cabai Spanyol

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Pada saat itu sebutan Nyai atau gundik dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai seorang istri simpanan.
Pada saat itu sebutan Nyai atau gundik dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai seorang istri simpanan.

Intisari-Online.com- Praktik pergundikan atau memiliki selir sudah terjadi di peradaban Yunani kuno dan Romawi.

Di Tiongkok kuno, pergundikan adalah praktik kompleks.

Di peradaban tersebut para selir diberi peringkat sesuai dengan tingkat kaisar dengan mereka.

Praktik pergundikan juga terjadi di era kolonial Hindia Belanda.

Saat itu, istilah 'Nyai' digunakan untuk menyebut seorang gundik dari orang-orang Eropa di wilayah pendudukan VOC.

Reggie Bay menceritakan tentang 'Nyai' ini dalam bukunya berjudulNyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.

Gundik sendiri bisa disebut juga istri tak resmi, perempuan simpanan, atau perempuan yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi.

Terdapat satu tempat yang juga tidak dapat terlepas dari praktik pergundikan atau pernyaian, yaitu perkebunan-perkebunan.

Berubahnya lahan hutan menjadi perkebunan secara besar-besaran terutama terjadi setelah tahun 1870.

Wilayah Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda dibuka untuk para pengusaha swasta, dan memperbolehkan tanah di wilayah Hindia Belanda disewakan.

Baca Juga: Siapa Segelintir Orang Ini? Prihatin pada Nasib Nyai yang Dibenci Bangsanya

Setelah itu, banyak tenaga kerja buruh yang berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah perkebunan untuk bekerja, baik tenaga kerja laki-laki maupun perempuan.

Perekrutan buruh kuli pun dilakukan demi memenuhi kebutuhan tenaga kuli yang banyak di perkebunan.

Kuli-kuli diambil dari daerah-daerah yang padat penduduknya, tidak hanya dari kaum pribumi tetapi ada juga kuli yang berasal dari China dan Malaysia.

Mereka berasal dari lapisan masyarakat paling rendah di pedesaan, yaitu kaum proletar yang tidak memiliki apa-apa.

Jika sebelumnya mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan, setelah direkrut untuk bekerja di perkebunan mereka pun kembali kepada kondisi yang tidak jauh berbeda, tanpa harapan.

Para majikan Eropa menganggap buruh-buruh kuli sebagai bagian inventaris yang dapat dijadikan hak milik dengan mudah.

Kebutuhan buruh kontrak yang semakin meningkat menyebabkan pengusaha perkebunan melakukan perekrutan buruh perempuan pribumi dalam skala besar.

Di sisi lain, perekrutan buruh perempuan ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan sosial dan seksual para buruh kuli laki-laki yang juga terus meningkat.

Para buruh perempuan sebagian besar berasal dari Jawa, dan mereka biasanya berasal dari kelompok masyarakat miskin.

Menjadi buruh kontrak di perkebunan menjadi suatu harapan untuk keluar dari kehidupan yang tanpa masa depan.

Walaupun dalam kenyataannya, kehidupan mereka di perkebunan lebih berat, bahkan lebih berat dari buruh kuli laki-laki karena dalam hirarki dunia perkebunan, buruh perempuan berada di posisi paling rendah.

Baca Juga: Fenomena 'Nyai,' Wanita Pendamping Lelaki Eropa yang Kaya Ilmu Lokal

Wanita yang bekerja di perkebunan sekaligus menjadi isteri, sehingga secara fisik menanggung beban yang amat berat.

Ironisnya, para Nyai bisa saja dipisahkan dengan anak yang mereka lahirkan sendiri.

Mereka yang lebih memilih cinta dari pada pundi-pundi uang lelaki Eropa, maka akan mendapat siksaan.

Mereka akan dijemur di bawah terik matahari, agar tidak pingsan, sementara daerah kemaluannya dilumuri cabai spanyol yang telah ditumbuk.

Hal itu diceritakan olehVan den Branddalam laporannya, De Milionen van Deli.

Saat berkunjung ke perkebunan di Deli, ia menyaksikan hal yang mengerikan.

Dia mendengar erangan perempuan dari halaman depan rumah orang Belanda si pemilik perkebunan.

Ternyata, suara itu berasal dari gadis belia yang tengah disalib dalam kondisi telanjang bulat.

Di bawah terik matahari siang bolong, alat kelamin gadis itu diolesi cabai Spanyol yang super pedas.

Gadis berusia 16 tahun yang disiksa itu merupakan buruh di pekerbunan milik si penyiksa yang orang Belanda.

Dia dihukum secara sadis lantaran memilih menjadin asmara dengan sesama buruh ketimbang menerima pinangan si tuan yang ingin menjadikannya nyai.

Baca Juga: Perlawanan Sembunyi-sembunyi Seorang Gundik Bersenjatakan 'Lugut' Bambu

(*)

Artikel Terkait