Intisari-Online.com -Fenomena keberadaan “Nyai” dimulai pada awal pemerintah kolonial Belanda yaitu awal abad ke -19.
Tepatnya yakni saat jumlah perempuan Eropa sangat sedikit jumlahnya dibandingkan jumlah prianya.
Pada umumnya Nyai ditugaskan untuk bekerja sebagai pengurus dalam rumah kehidupan antara dua budaya yang sangat jauh berbeda.
Hal inilah yangmengakibatkan nyai hanya dianggap sebagai pemuas nafsu, selain mengurus rumah tangga.
Namun nyai tetap bertindak sebagai kepala rumah tangga.
Pembantu- pembantu lain dan kuli-kuli kontrak patuh dan tidak berani membantahnya.
Wanita pribumi begitupun nyai sangat piawai dalam masalah obat-obatan tradisional dari tanaman atau akar alami.
Sehingga walaupun mereka hidup serumah bersama laki-laki Eropa, saat menderita sakit ringan mereka lebih senang menggunakan obat-obatan tradisional daripada berkonsultasi pada dokter yang mendalami ilmu kedokteran barat.
Bidang ini memberi kekayaan pengetahuan pada wanita.
Nyai dan gundik memiliki peran penting dalam menginformasikan dan mengajarkan berbagai hal tentang Nusantara pada lelaki Eropa.
Baca Juga: Nasib Selir Kaisar China Jika Sang Raja 'Mangkat', Dikubur Bersama?
Mereka juga menyerap bahasa, pengetahuan, dan kultur Eropa untuk ditransmisikan pada kaum pribumi.
Selain itu seorang nyai dapat menjelaskan bagaimana kehidupan di Hindia Belanda kepada tuan Eropa-nya.
Nyai dapat mengajarkan bahasa pribumi dan memperkenalkan adat istiadat dan kehidupan di Hindia Belanda.
Orang-orang pribumi juga bekerja di rumah aparatur pemerintahan dan pejabat tinggi Eropa.
Biasanya orang-orang Eropa ini menempati rumah dinas yang bukan hanya mereka huni sendiri, namun disertai orang-orang pribumi sebagai pembantu rumah tangga.
Sebagian besar kaum laki-laki Eropa digundahkan oleh ketidakhadiran seorang istri yang selayaknya mengurus kehidupan sehari-hari mereka.
Oleh karena itu umumnya mereka mencari jalan keluar dengan mengawini wanita-wanita pribumi tersebut.
Seorang nyai bertugas mengatur rumah tangga, dan hidup bersama laki-laki Eropa yang telah mengambilnya sebagai seorang nyai.
Nyai akan tinggal bersamanya, makan dengannya, menemaninya dan tidur bersamanya.
Namun, seorang nyai tidak mempunyai derajat yang sama dengan tuannya.
Memasuki abad ke-19, muncul suatu titik balik terhadap pergundikan.
Baca Juga: Habis Manis Sepah Dibuang, Para Gundik Kolonial Dibuat Tak Karuan Hidupnya
Pada awalnya pergundikan merupakan suatu sistem paksa bagi para budak pribumi, menjadi suatu kesukarelaan dari mereka.
Meski peraturan pemerintah pada 1818 telah melarang perdagangan budak internasional (berkaitan dengan penjualan budak rumah tangga di Hindia Belanda),namun perbudakan nasional di Hindia Belanda baru benar-benar dihapuskan pada 1860.
Akhirnya, para pemuda Eropa yang senang dengan dunia pergundikan harus mencari gundik atau nyai mereka di antara orang-orang pribumi bebas atau bukan budak.
Kepengurusan rumah tangga merupakan sarana yang tepat untuk menjalani kebiasaan ini dengan mudah.
Baca Juga: Siapa Segelintir Orang Ini? Prihatin pada Nasib Nyai yang Dibenci Bangsanya
(*)