Find Us On Social Media :

Pergundikan: Pegawai Kompeni Girang Kantornya Gagal Sediakan 'Perawan yang Sudah Mateng Kawin'

By Muflika Nur Fuaddah, Kamis, 17 November 2022 | 13:57 WIB

(Ilustrasi) Rumah Bordil di Batavia

Keguguran dan kematian anak-anak lazim terjadi.

Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.

Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.

Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai sehingga, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda, ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.

Sistem pergundikan ini sudah ada sejak sebelum Belanda tiba, dan menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar gereja di Batavia.

Sistem pergundikan itu menghasilkan sejarah panjang keberadaan para nyai.

Kembali ke Macao Po, seiring dengan perkembangan Batavia, prostitusi pun meluas ke Gang Mangga, kini sekitaran Jalan Pangeran Jayakarta.

Kompleks prostitusi Gang Mangga akhirnya kalah bersaing dengan rumah bordil Soehian yang dibikin orang China.

Pemerintah Belanda menutup tempat itu namun kemudian prostitusi tumbuh kembali di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar).

Baca Juga: Gundik Firaun yang Mengaku Tuhan Ini Lebih dari 200 Perempuan, Berapa Banyak Anaknya?

(*)