Utang Indonesia Terus Bertambah hingga Tembus Rp7.000 Triliun, Benarkah Indonesia Bisa Bangkrut Seperti Sri Lanka Akibat Gagal Bayar Utang?

Khaerunisa

Penulis

Ilustrasi krisis Sri Lanka.

Intisari-Online.com - Krisis Sri Lanka belakangan ini tengah menjadi sorotan dunia internasional.

Bermula pada akhir Maret 2022 hingga warganya menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri, kemudian pada 12 April 2022, pemerintah Sri Lanka mengumumkan gagal bayar utang.

Setelah pengumuman gagal bayar utang senilai 51 miliar dollar AS (sekitar Rp 732 trilliun) yang dipinjam dari luar negeri, negara tersebut kemudian menyatakan bangkrut.

Krisis Sri Lanka yang menyebabkan warganya sengsara ini merupakan situasi terburuk yang pernah dialami negara tersebut sejak kemerdekaannya pada 1948.

Jika Sri Lanka bangkrut karena gagal bayar utang, mungkinkah Indonesia mengalami nasib serupa?

Diketahui utang Indonesia pada 2022 mengalami kenaikan dan menembus angka 7.000 Triliun.

Data APBN mencatat, hingga 28 Februari 2022, utang Indonesia telah mencapai Rp 7.014,58 triliun.

Angka tersebut naik signifikan jika dibandingkan dengan utang Indonesia per Januari 2022, yakni Rp 6.919,15 triliun.

Baca Juga: Terkenal Punya Utang Selangit ke China sampai Gadaikan Pelabuhannya, Sri Langka Dilaporkan Bangkrut, Benarkah Kena Jebakan Utang China?

Baca Juga: Terobsesi pada Para Selirnya, Kaisar China Ini Terapkan Peraturan Agar Mereka Bunuh Diri Jika Kaisarnya Meninggal, Tradisi yang Terus Berlangsung Bertahun-tahun Kemudian

Kenaikan utang Indonesia dalam satu bulan cukup signifikan dengan penambahan Rp 95,43 triliun per bulan.

Bahkan dengan jumlah tersebut, kenaikan utang Indonesia menjadi rekor baru.

Bertambahnya utang pemerintah juga membuat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga mengalami kenaikan.

Pada akhir Januari 2022, rasio utang terhadap PDB adalah 39,63 persen, sementara di akhir Februari meningkat menjadi 40,17 persen.

Sri Mulyani mengatakan bahwa kenaikan utang Indonesia terjadi lantaran penanganan wabah pandemi Covid-19 yang terjadi selama dua tahun belakangan.

Pasalnya, APBN memerlukan sumber dana yang lebih untuk menangani pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi serta memberikan bantuan sosial kepada masyarakat dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan utang negara juga dialami oleh negara-negara maju lainnya lantaran wabah pandemi yang terjadi di seluruh penjuru dunia.

Soal apakah Indonesia bisa bernasib serupa dengan Sri Lanka yang bangkrut karena utang, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini, mengungkapkan pandangannya.

Baca Juga: Saat Dunia Ketakutan Karena Rusia Bisa Gunakan Senjata Nuklirnya, Pakar Malah Ungkap Vladimir Putin Nyaris Mustahil Gunakan Senjata Nuklir Karena Alasan Ini

Baca Juga: Beginilah Kehidupan Mewah Anjing Kerajaan di Kota Terlarang China Kuno, Ada Kasim Khusus yang Merawatnya

Melansir Kompas.com, Didik mengatakan kasus Sri Lanka harus menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam permasalahan utang.

Indonesia harus berhati-hati dalam mengelola utangnya dengan tidak menggampangkan utang tersebut.

"Jadi saya tidak mengatakan akan terjadi, tapi harus hati-hati. Sri Langka itu jadi pelajaran. Tidak hanya Sri langka, Pakistan juga berat," kata Didik ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (15/4/2022).

Didik menilai pemerintah Indonesia terlalu menggampangkan permasalahan utang selama enam tahun terakhir ini, padahal dalam kurun waktu dua tahun saja utang Indonesia meningkat secara signifikan.

"Bagaimana menggampangkan, utang kita ini dalam waktu dua tahun, dalam waktu yang sangat pendek itu meningkatnya sangat cepat sekali," ungkapnya.

Menurutnya, tidak tepat jika pemerintah membandingkan utang Indonesia dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, karena negara maju sudah memiliki kematangan dalam mengelola utang.

Ia mengungkapkan, walaupun Jepang diketahui memiliki utang yang lebih banyak daripada Indonesia, akan tetapi memiliki bunga utang yang lebih kecil sebesar 0,2 persen.

Bunga utang tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki bunga utang kisaran 6,7/6,8 persen.

Baca Juga: Kisah Tragis di Balik Kecantikan Wang Zhaojun yang Melegenda hingga Mampu 'Menjatuhkan Angsa-angsa Terbang,' Juru Perdamaian yang Akhir Hidupnya Tak Terduga

Baca Juga: Mundurnya Perlawanan Mataram terhadap Belanda di Batavia Disebabkan oleh Beberapa Hal Berikut Ini

"Lha iya lah mereka sudah matang dan bunga di Jepang cuman 0,2 persen. Kalau di Indonesia nanti Jokowi selesai katakan 10.000 (trlliun rupiah) bunganya saja 700 persen itu hampir 700 trilliun, kan 6,7/6,8 bunga dari hutang kita," tegasnya.

Didik juga menyayangkan perihal buzzer-buzzer yang ikut campur menjelaskan masalah utang daripada menteri-menteri terkait.

ia menyarankan agar pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 7 persen seperti janjinya dahulu.

Selain itu juga menurunkan kemiskinan, menurunkan pengangguran seperti sasaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"Semua sasaran janji-janji undang-undang di RPJMN itu juga enggak ada yang tercapai kecuali inflasi dan itu kerjanya Bank Indonesia, cuman satu yang tercapai sebelum krisis," kata Didik.

Sehingga menurutnya, pemerintah harus berhati-hati dengan kemungkinan yang sama seperti yang dialami oleh Sri Lanka.

Didik mencontohkan pada tahun 1998, rata-rata pertumbuhan ekonomi berada di angka 7 persen, sehingga Indonesia dipuji oleh seluruh dunia.

Akan tetapi, saat angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 7 persen, di tahun yang sama pula Indonesia mengalami krisis ekonomi.

"Jadi kesimpulannya itu hati-hati, kemungkinan seperti Sri Langka itu bisa terjadi dan pada waktu krisis 98 itu komplikasi sosial politik pertumbuhan ekonomi 7 persen, rata-rata 7 persen tapi ambles juga, karena menggampangkan dan dipuji-puji" pungkasnya.

Baca Juga: Pantas Barat Kegirangan, Semakin Rusia Dihukum, China Ternyata Ikut Kena Imbasnya, Barat Makin Diuntungkan Bak 'Mafia' Senjata Militer, Ini Alasannya

(*)

Artikel Terkait