Penulis
Intisari-Online.com – Sekarang mendapat obat sudah sama gampangnya dengan beli martabak. Begitu pula dengan obat yang harus ditebus menggunakan resep dokter.
Selama tepat dosis, alamat, serta indikasinya, obat menjadi dewi penyembuh.
Namun sebaliknya, obat yang dipakai berlebihan, bukan pada indikasinya, dan salah alamat pula, bisa berubah tabiat menjadi racun.
Alih-alih mengobati, ia malah merusak badan. Selain tubuh harus memikul efek sampingan, obat yang tak tepat dipakai mungkin memperburuk penyakit yang sudah ada.
Baca juga: Perlukah Ibu dan Bapak Rumah Tangga Mengerti Khasiat Obat-obatan?
Bukan pula tak mungkin memunculkan masalah medis baru.
Sebaiknya, kita tidak kelewat akrab dengan obat. Kalau dokter memilihkan pasiennya obat, tentu ada dasar medisnya.
Namun, belum tentu keluhan yang sama, tanpa diperiksa, akan memerlukan obat yang sama.
Ada pertimbangan manfaat dan mudaratnya, selain ongkos-manfaat yang dokter timbang-timbang saat menulis resep buat seorang pasiennya.
Kompetensi untuk menimbang-nimbang kapan obat laik dipakai, kapan dosis bisa dikurangi, kapan obat perlu diganti, dan kapan sudah harus dihentikan sepenuhnya milik dokter.
Baca juga:Ketika Tukang Copet Membalas Dendam pada Dokter yang Mengoperasi Anaknya Tanpa Obat Bius
Pihak awam tak mampu menggantikan dokter untuk memakai dan memilih obatnya sendiri.
Sekali lagi, keluhan, gejala, dan tanda penyakit yang kelihatannya sama belum tentu mewakili jenis penyakit yang sama.
Penyakit mata merah lebih dari 20 jenisnya. Barang tentu tidak setiap mata merah sama obatnya. Begitu juga dengan encok.
Menebus kembali sebuah resep hanya karena beranggapan keluhan, gejala, dan tandanya kok seperti penyakit yang dulu sungguh tidak bijaksana.
Selain belum tentu menyembuhkan, bukan mustahil jadi petaka.Kita mafhum, pemilihan obat juga mempertimbangkan adakah kontraindikasi.
Baca juga: Ingat! Jangan Sembarang Minum Antibiotik, Ini Cara Tepat Obati Flu
Pada pasien berpenyakit jantung, kencing manis, maag, ibu hamil, ada larangan mengonsumsi jenis-jenis obat tertentu. Bila ini dilanggar, tentu jadi malapetaka.
Yang paling kerap terjadi ihwal menebus sendiri resep obat pada pasien dengan kasus menahun.
Berhitung kepingin mengirit tak perlu ketemu dokter, resep obat hipertensi, diabetes, encok, epilepsi, antikolesterol, misalnya, terus saja ditebus sendiri, bahkan sampai bertahun-tahun merasa penyakitnya masih membutuhkan itu.
Padahal sejatinya penyakit sendiri bukan barang mati, yang statis, melainkan terus berproses dan berpasang surut.
Mungkin darah tinggi seorang pasien sudah normal setelah sekian lama minum obat.
Ketika berat badan sudah ideal, gerak badan sudah rutin, dan makan asin dibatasi, darah tingginya sudah normal.
Baca juga: Wanita Ini Berhasil Obati Jerawatnya Selama 30 Hari, Perawatan Alaminya Ini Kini Banyak Ditiru Orang
Kalau pasien ini tanpa diperiksa dulu, dan obat yang sama terus ditebus dan dengan dosis yang sama terus diminum, bisa buruk akibatnya.
Tekanan darah yang menjadi kelewat rendah akibat obat darah tinggi yang mestinya sudah tak perlu diminum, sama jeleknya dengan sedikit tinggi. Ini petaka.
Kencing manis juga bisa begitu. Kalau obat rutin ditebus tanpa diperiksa berkala gula darahnya, atau minta petunjuk dokter terlebih dulu, gula darah bisa anjlok.
Gula darah yang anjlok bisa lebih buruk akibatnya ketimbang gula darah yang sedikit tinggi.
Dengan diperiksa kembali, dokter mendapat waktu untuk menimbang kembali apakah obat yang sama untuk kasus menahun masih laik dipakai, atau perlu diganti lantaran khasiatnya yang menjadi lemah, atau berkurang, atau efek sampingannya sudah tampak membahayakan diri pasien.
Atau mungkin obatnya tetap masih sama, tapi dosisnya sudah boleh dikurangi.
Baca juga: Obat Alami untuk Nyeri Gigi, dari Minyak Bunga Cengkih hingga Daun Jambu Biji di Depan Rumah
Dokter juga punya kompetensi untuk mempertimbangkan penggantian obat melihat ada obat baru yang kecil efek sampingannya.
Pada terapiTBC sekurang-kurangnya pasien minum obat enam bulan.
Kalau obat anti-TBC sudah habis dan pasien menebus resep obat yang sama tanpa petunjuk dokter, kemungkinan ada bahaya tersembunyi dalam efek sampingan obat tersebut.
Gangguan hati dan ginjal, misalnya. Bila itu sudah terjadi, sudah saatnya obat anti-TBC yang standar perlu diganti.
(Ditulis oleh dr. Handrawan Nadesul. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2006)
Baca juga: Catat! Ini 3 Obat Rumahan Terbaik untuk Meredakan Rasa Linu di Panggul