Find Us On Social Media :

Meski Sudah Lama Bubar, Jejak Nuklir Uni Soviet Masih Tersisa di Negara Ini, Akibatkan Jutaan Warga Harus Rasakan Penderitaan

By Khaerunisa, Minggu, 10 April 2022 | 17:25 WIB

Kawah dari uji coba nuklir Uni Soviet di Semipalatinsk.

“tetapi kita tidak bisa kembali. Sekarang kita perlu mempelajari konsekuensinya.”

Perjanjian Larangan Uji Terbatas telah ditandatangani pada tahun 1963, yang kemudian mengakhiri pengujian di atas tanah.

Tetapi, uji coba bawah tanah yang berlanjut hingga tahun 1989, menjelang runtuhnya Uni Soviet, mungkin telah berkontribusi pada beberapa risiko paparan.

Uni Soviet sendiri menjadi salah satu negara yang pernah melakukan uji coba bom nuklir terbesar dalam sejarah.

Baca Juga: Mengenal Blue Division Pasukan Jerman yang Berhasil Kalahkan Tentara Bentukan Stalin di Perang Dunia II

Selain Uni Soviet, negara lainnya yaitu AS, Inggris, Perancis, dan China.

Uni Soviet pernah menggelar 715 uji coba nuklir, selisih cukup banyak dibandingkan dengan 1.030 tes yang dilakukan AS.

Namun, sejauh ini, bom nuklir yang diketahui menghasilkan ledakan nuklir terbesar dunia berdasarkan hasil tes adalah Tsar Bomba buatan Uni Soviet.

Uji coba tersebut dilakukan pada 30 Oktober 1961 di Laut Barent.

Kala itu, pesawat pengebom Tu-95 yang dimodifikasi lepas landas dengan membawa sebuah bom nuklir.

Dalam rekaman uji coba Tsar Bomba, bola api sempat terbentuk selama sekitar 40 detik sebelum kemudian berubah menjadi awan berbentuk jamur.

Awan jamur sempat naik hingga ketinggian 213.000 kaki, atau enam kali lebih tinggi dari pesawat komersial.

Ledakan yang dihasilkan Tsar Bomba sekitar 50 megaton atau setara 10 kali lebih kuat daripada semua amunisi yang dikeluarkan selama Perang Dunia II.

Baca Juga: Negaranya Punya Sistem Warisan Uni Soviet, Rudal S-300 Kini Jadi Sistem Pertahanan Udara Terkuat Ukraina, Seperti Apa Kemampuannya?

Baca Juga: Gemar Beri Sanksi ke Negara Manapun, AS Diolok-olok Korea Utara, Kim Jong-Un Sampai Berani Ejek Joe Biden 'Pikun' dan Pertanyakan Kepintaran Presiden AS Itu: 'Pecundang Terakhir'

(*)