Penulis
Intisari - Online.com -Serangan Rusia ke Ukraina dan pembicaraan buntu memulihkan Aksi Rencana Komprehensif Gabungan (JCPOA) kesepakatan nuklir Iran semakin terkunci dalam aturan geopolitik.
Namun harapan bahwa kesepakatan nuklir akan membuat Iran menggantikan pasokan energi Rusia ke Barat terhitung terlalu cepat untuk berbagai alasan.
Melansir Asia Times, dalam pernyataan akhir minggu lalu, Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov meminta AS untuk sebuah jaminan tertulis bahwa bangkitnya JCPOA dibuat bergantung pada Rusia yang diizinkan untuk mempertahankan hubungan perdagangan dan ekonomi dengan Iran yang dibebaskan dari sanksi AS atas invasi Ukraina.
Banyak analis mengartikan permintaan tersebut, dibuat setelah berbulan-bulan negosiasi dan dengan kesepakatan baru terlihat yang bisa mengangkat sanksi Iran, dengan upaya Moskow untuk menahan JCPOA dan mengancam Barat.
Di kertas, Iran tidak seharusnya kena dampak dari perang di Ukraina seperti halnya mereka tidak membagi perbatasan dengan negara Eropa dan tidak diharapkan menjadi tujuan 1.5 juta pengungsi Ukraina melarikan diri dari peperangan.
Namun intelijen Iran dan cendekiawan Barat telah mengemukakan jika Iran memainkan kartu dengan benar mereka dapat meningkatkan isolasi baru Rusia dari sistem finansial global dan pasar energi untuk bangkit dari ekonomi mereka sendiri yang gagal, termasuk melalui ekspor energi yang mengisi pelanggaran yang dibuka oleh pasokan Rusia yang dihukum.Iran memiliki sumber daya gas terbesar kedua dunia, hanya disaingi Rusia.
Mereka juga memiliki sumber daya minyak terbesar keempat dunia.
Namun bertahun-tahun sanksi Barat untuk ekspor energi Iran telah merusak industri keduanya.
Jika JCPOA pulih, Republik Islam akan dengan cepat bangkit sebagai eksportir minyak dan gas, mirip dengan periode setelah penandatanganan kesepakatan nuklir asli ketika ekonomi dicatat tumbuh 12.5% pada 2016-17.
Pakar yakin kondisi insfrastruktur energi Iran dan fakta bahwa hampir 80% gas alam yang mereka produksi dikonsumsi secara lokal artinya mereka tidak bisa dengan cepat menggantikan pasokan Rusia.
Sebagian besar hal ini menjelaskan mengapa Eropa menerapkan sanksi skala penuh pada ekspor energi Rusia, terutama pada gas alamnya, yang bernilai 40% impor Eropa.
"Perihal gas alam, ada halangan infrastruktur mendasar dengan Iran terhubung dengan jalur gas hanya ke beberapa negara, pertama dan utama Irak dan Turki, dan tidak punya terminal LNG," ujar David Jalilvand, direktur Orient-Matters, konsultan di Berlin.
"Lebih jauh, Teheran berupaya bertemu tuntutan lokal untuk gas alam dan tidak punya kapasitas menutup ekspor dalam periode pendek dan menengah," ujarnya.
"Bahkan jika Iran mengatasi masalah kapasitas dan infrastruktur, Teheran punya kemungkinan kecil melanggar Rusia dalam pasar ekspor kunci mereka, Eropa, tapi akan mencoba merambah pasar Asia, di mana pertumbuhan jangka panjang paling kuat," tambah Jalilvand.
"Namun ambisi Iran untuk segera meraih saham pasar global menunjukkan mereka akan mencari cara menjadi pemain global, terutama sekarang yang mana harga minyak mentah meningkat ke tingkat tak terkira hampir USD 130 per barel.
Scott Montgomery, seorang ilmuwan geografi dan anggota fakultas di Jackson School of International Studies di University of Washington, yakin akan ada pengembalian JCPOA penuh dan Iran akan mampu menggantikan ekspor minyak Rusia dalam 6-8 bulan ke depan, mungkin akhir tahun 2022.
"Perkiraanku menunjukkan bahwa jika sanksi diangkat sekarang, Iran dapat memproduksi cukup minyak untuk mengekspor tambahan 1 - 1.2 juta barel per hari secara langsung, dan kemungkinan dua kali lipat sebelum akhir 2022. Jika sebagian besar dari produksi ini dialirkan ke Eropa, mayoritas besar minyak Rusia, katakan saja 2.4 juta barel per hari bisa digantikan," ujarnya dikutip Asia Times.
"Dalam beberapa tahun saja, katakan 2025 atau 2026, kapasitas produksi Iran dapat kembali di atas 4 juta barel per hari atau lebih tinggi."
Montgomery yang mengikuti negosiasi JCPOA dengan seksama, menyebut rekoneksi Iran ke dunia lewat kesepakatan nuklir baru akan menimbulkan pemulihan ekonomi untuk dunia mereka dan menjadi berkah terselubung untuk Barat dengan rasionalisasi kerjasama dalam perihal keamanan energi.
"Warga Iran itu cerdik. Mereka tahu Barat, seperti halnya timur, sangat ingin kesepakatan itu berhasil, sehingga Iran bisa lagi menjadi eksportir besar dan membantu menstabilisasi pasar minyak global secara khusus. Kenyataan ini kini menitikberatkan jumlah prospek larangan untuk minyak Rusia dan ekspor gas ke Barat," ujarnya.
Ekspor energi Rusia sudah dilaksanakan Inggris dan AS.
Meski begitu potensi Iran menangani stagnasi ekonominya dan isolasi geopolitik setelah bertahun-tahun mendapat sanksi, ada sedikit indikasi bahwa Teheran dapat segera mencari cara untuk meningkatkan taruhan diplomasi dengan menciptakan koalisi baru di luar ikatan dengan China dan Rusia.
Alex Vatanka, direktur program Iran di Institut Timur Tengah di Washington, mengatakan kepada Asia Times untuk Iran menjadi pemasok energi utama di Eropa membutuhkan satu faktor, yaitu "sebuah keputusan politik di Eropa dan di Teheran untuk melihat satu sama lain sebagai mitra strategis di sektor energi sebagai pemasok dan konsumen."
Namun, dia berargumen, keinginan politik tidak ada di sana saat ini.
"Warga Iran tidak pernah punya rencana strategis untuk menjadi pemain energi besar. Mereka memiliki semua kualitas pemain energi global tapi kebijakan luar negeri revolusioner Islam mereka akan membuat mereka keluar dari pasar dunia," paparnya.
"Alih-alih, harapan Teheran adalah kebijakan Look East mereka terkait China akan menyelamatkan sektor energinya. China mungkin menyelamatkan sektor energi Iran, tapi hanya ada sedikit harapan terkait Iran menjadi pemain minyak konsumen tunggal," tambahnya.
Pengamat lainnya mencatat bahwa Iran tidak mungkin beralih dari kebijakan Look East sejak ketidakpercayaan mereka kepada AS dan Eropa telah tumbuh dalam mentalitas pemerintahan Raisi.
"Iran sendirian di wilayah itu yg melihat ke arah China, dan untuk Iran sendiri, pengalaman di balik sanksi telah menciptakan kegetiran mendalam di antara elit pembuat kebijakan dan telah berdampak pada persepsi terhadap Barat bahkan pada warga sipil biasa, banyak yang memiliki afinitas untuk AS dan Eropa walaupun terjadi ketegangan geopolitik yang lama," ujarnya.
Baca Juga: Tips Rahasia Minyak Goreng Tidak Cepat Hitam dan Tetap Jernih Walau Dipakai Berkali-kali, Yuk Coba!