Ribuan Hektar Hutan Disulap Jadi Lahan Kepala Sawit Hingga Jadi Pemasok Minyak Sawit Terbesar di Dunia, Ini Alasan Minyak Goreng di Indonesia Masih Saja Mahal

Khaerunisa

Editor

Ilustrasi. Perkebunan kelapa sawit Adolina Sumatera Utara.
Ilustrasi. Perkebunan kelapa sawit Adolina Sumatera Utara.

Intisari-Online.com - Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia 'tercekik' dengan harga minyak goreng yang melambung tinggi.

Padahal, minyak goreng merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus dipenuhi untuk setiap harinya.

Tak hanya terjadi pada minyak goreng kemasan, namun juga terjadi pada minyak goreng curah yang biasa dijual dalam kemasan plastik bening di pasaran.

Di beberapa daerah, harga minyak goreng menembus Rp 20.000 per liter. Padahal sebelum melonjak, harga minyak nabati ini berkisar Rp 11.000 hingga Rp 13.000 tergantung kemasannya.

Harga minyak goreng mulai menurun di level Rp 14.000 per liter sesuai ketetapan pemerintah, setelah pemerintah menggelontorkan subsidi Rp 3,6 triliun melalui perusahaan minyak goreng.

Indonesia sendiri tercatat jadi negara penghasil Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah terbesar di dunia.

Maka, lonjakan harga minyak goreng di Indonesia ini jadi ironi, mengingat pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah.

Jika Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar, lalu mengapa harga minyak goreng bisa melambung?

Baca Juga: Meski Penghasil Minyak Kelapa Sawit Terbesar di Dunia, Pantas Saja Minyak Goreng di Indonesia Masih Saja Mahal, Ternyata Justru Malaysia yang Bisa Mengatur Harga Minyak, Ini Penyebabnya!

Baca Juga: Sering Bikin Perdebatan, Mengapa Dua Air Laut yang Bertemu di Teluk Alaska Tidak Bisa Menyatu? Ternyata Begini Rahasia di Balik Misteri Alam Semesta Ini

Melansir Kompas.com (30/01/2022), Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, polemik mengenai mahalnya minyak goreng di Indonesia ibarat ayam yang mati di lumbung padi.

"Dalam gejola minyak goreng di pasar ibarat ayam mati di lumbung padi. Mengapa, karena kita penghasil CPO yang terbesar tapi negara gagal memasok harga minyak yang rasional kepada masyarakat dengan harga yang tinggi bahkan kalah jauh dengan Malaysia.

"Ini malah sebaliknya, penghasil CPO terbesar tapi harganya malah yang termahal," ujarnya dikutip pada Minggu (30/1/2022).

Tulus juga mengkritisi terkait program satu harga yang dimana semua minyak goreng dibanderol Rp 14.000 per liter.

Dalam program tersebut, pemerintah menyiapkan 1,2 juta miliar liter minyak goreng untuk didistribusikan dengan harga yang sama.

Tulus menilai pemerintah dalam membuat program ini justru salah kaprah karena tidak mengetahui dan memahami psikologi konsumen. Bukan hanya itu, Tulus juga mengatakan, pemerintah gagal dalam mendalami dan memahami supply chain terhadap minyak goreng.

"Saya simpulkan subsidi 1,2 juta miliar liter itu kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti kan programnya tidak efektif," ungkap Tulus.

Baca Juga: Belum Juga Konflik Dimulai, Tentara dan Warga Ukraina Mengaku Sudah Lelah Hadapi Pasukan Rusia, Sampai Memohon Seperti Ini Kepada Vladimir Putin, 'Berdamailah'

Baca Juga: Dianggap Penggoda Paling Cantik dan Lebih Tenar Daripada Para Firaun, Di Manakah Sebenarnya Makam Ratu Mesir Terakhir Nan Legendaris Cleopatra, Kota Kelahirannya Sendiri Telah Hancur Karena Tsunami

Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan masih menyelidiki dugaan kartel dalam kenaikan harga minyak goreng secara drastis.

Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, kartel tersebut terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga minyak goreng.

Ukay mengatakan, alasan kenaikan harga minyak akibat lonjakan CPO dunia kurang masuk akal.

Itu lantaran perusahaan minyak goreng besar di Indonesia juga memiliki perkebunan kelapa sawit milik sendiri yang berada di atas tanah milik negara yang didapat melalui Hak Guna Usaha (HGU).

"Ini dinaikan juga relatif kompak, baik di pasar tradisional, di ritel modern, di pabrik perusahaan menaikkan bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri-sendiri," terang Ukay.

"Perilaku ini bisa dimaknai sebagai sinyal apakah ini terjadi kartel karena harga, tapi ini secara hukum harus dibuktikan," ujar Ukay lagi.

Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.

Menurut Ukay, dugaan kartel ini berkaitan dengan terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Dia menjelaskan, jika CPO-nya milik sendiri, harga minyak goreng tidak naik secara bersama-sama.

Baca Juga: Belum Juga Konflik Dimulai, Tentara dan Warga Ukraina Mengaku Sudah Lelah Hadapi Pasukan Rusia, Sampai Memohon Seperti Ini Kepada Vladimir Putin, 'Berdamailah'

Baca Juga: Pantas Sampai Akui Menyesal Setengah Mati Telah Selamatkan Istrinya dari Kebakaran, Pria Ini Ditinggalkan Justru Gara-gara Pengorbanan yang Telah Dilakukannya Itu

(*)

Artikel Terkait