Penulis
Intisari-Online.com - Kyai Nogo Siluman merupakan salah satu keris milik Pangeran Diponegoro.
Seperti diketahui, Pangeran Diponegoro merupakan salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa melawan pemerintah Hindia Belanda selama periode tahun 1825 hingga 1830.
Saat perang itu berakhir Pangeran Diponegoro dilaporkan menyerahkan kerisnya kepada Hendrik Merkus de Kock, letnan gubernur jenderal Hindia Belanda.
Kemudian, ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, disepakati bahwa barang-barang Diponegoro akan dikembalikan, yang artinya termasuk keris tersebut.
Pada tahun 1968 sebuah perjanjian budaya ditandatangani dan pada tahun 1975 barang-barang yang akan dipulangkan didaftarkan.
Namun ketika pelana, tombak, dan payung Diponegoro dikirim kembali, rupanya keris tidak.
Baru pada 2020 lalu, setelah 45 tahun berlalu sejak perjanjian ditandatangani, keris tersebut akhirnya dikembalikan oleh Belanda kepada Indonesia.
Keris Kyai Nogo Siluman disimpan Belanda di Museum Etnologi sebelum dikembalikan ke Indonesia.
Baca Juga: Peristiwa Penting Bagi Sejarah Bangsa Indonesia, Apa Peran Pelajar dan Mahasiswa dalam Aksi Tritura?
Mengutip The Guardian, pada tahun 1831, keris tersebut diberikan kepada kabinet kerajaan langka Raja William I, raja pertama Belanda dan adipati agung Luksemburg.
Itu diberikan sebagai bagian dari koleksi yang kemudian dipindahkan ke tempat yang sekarang menjadi Museum Etnologi.
Sejarawan seni, Jos van Beurden mengatakan hilangnya keris selama beberapa dekade disebabkan oleh kurangnya pengaturan dan keengganan untuk mengembalikan harta karun kepada Indonesia.
Keris Kyai Nogo Siluman merupakan keris yang dibawa kemana-mana oleh Pangeran Diponegoro, termasuk saat berperang.
Selain keris Kyai Nogo Siluman, Pangeran Diponegoro juga sering membawa beberapa keris lainnya.
Seperti yang diceritakan alam buku Takdir Sejarawan Pangeran Diponegoro 1785-1855, oleh sejarawan Peter B Carey.
Keris lain yang sering dibawanya misalnya keris Kyai Abijoyo yang merupakan hadiah dari ayahnya dan kyai Ageng Bondoyudo.
Keris memang merupakan senjata perang pada masanya, namun bukan berarti alat khusus untuk membunuh.
Dikutip dari Majalah Adiluhung Pelestarian Budaya Nusantara Edisi 17, dalam peperangan, keris digunakan sebagai kendel atau tulangan.
Itu pula yang dilakukan Pangeran Diponegoro, yaitu membawa keris pusaka untuk menambah kepercayaan dirinya saat berperang.
Dipercaya atau tidak, nyatanya Belanda sering kewalahan selama perang menghadapi Pangeran Diponegoro.
Meski akhirnya menyerahkan diri, pertempuran Pangeran Diponegoro melawan Belanda berlangsung sengit.
Di akhir perang, pasukan Pangeran Diponegoro dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock.
Awalnya tetap kukuh, tetapi demi membebaskan sisa pasukannya, Pangeran Diponegoro akhirnya rela menyerahkan diri.
Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado Sulkawesi Utara, kemudian ke Makassar Sulawesi Selatan hingga akhir hidupnya.
Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun itu menimbulkan dampak yang sangat besar bagi Indonesia.
(*)