Find Us On Social Media :

Suku Jivaro di Amerika Selatan: Kepala Musuhnya Diciutkan Lalu Dijadikan Gantungan Penghias Rumah Sebagai Tanda Kemenangan

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 4 Mei 2018 | 17:00 WIB

Kalau di kita seperti piagam penghargaan atau tanda jasa, kira-kira begitu.

Selama kaum laki-laki pergi berperang, para wanita berkumpul tiap malam dalam sebuah rumah, untuk melakukan upacara-upacara berupa pembacaan mantera-mantera yang diselingi dengan tarian-tarian.

Pada kesempatan ini, para penari melilitkan serangkaian kulit keong pada pinggang hingga menimbulkan bunyi yang sangat berisik. Tarian perang wanita-wanita Jivaro ini dipercayai akan melindungi suami, ayah dan putra-putra mereka dari senjata-senjata musuh serta melengahkan kewaspadaannya terhadap bahaya yang mengancam.

Tsantsa

Kepala musuh yang telah dipenggal, diawetkan dan diolah secara khusus sehingga menyusut sebesar kepalan tangan. Sampai saat ini, akhli-akhli kimia modern masih bingung memikirkan formula penyusutan yang hak patent-nya dimiliki oleh suku Jivaro.

Kepala manusia yang telah menyusut demikian dalam bahasa Jivaro disebut "tsantsa", dan pengolahannya bisa memakan waktu tiga sampai enam bulan. Sampai disini pengolahan secara phisik selesai, tinggal lagi mengolahnya secara mistik atau pengolahan religius.

Baca juga: Robert Edward Lee, Jenderal Perang Saudara AS yang Meskipun Kalah Perang Tapi Tetap Dihormati oleh Para Musuhnya

Orang Jivaro percaya bahwa jiwa orang yang telah dipenggal kepalanya ini, tetap berada dekat "tsantsa". Bila jiwa ini dapat dikuasai, maka ia akan merupakan kekuatan yang berguna bagi perkembangan keluarga, perburuan dan semua kegiatan yang dilakukan oleh pemiliknya.

Usaha untuk menguasai jiwa tadi dilakukan pada waktu "pesta kemenangan", dan ini dapat berlangsung berhari-hari.

Perayaan kemenangan

Setelah "tsantsa" betul-betul menyusut dan tidak dapat lebih kecil lagi, dibuatlah persiapan untuk merayakan kemenangan atas musuh, baik secara phisik maupun secara spirituil. Untuk ini semua orang diundang.

Mereka makan, minum dan menari sementara yang empunya hajat sibuk dengan segala jampi-jampi untuk menguasai jiwa "tsantsa"-nya. Sebagian besar dari perayaan ini terdiri dari tari menari  dan pengucapan mantera-mantera.