Advertorial

Robert Edward Lee, Jenderal Perang Saudara AS yang Meskipun Kalah Perang Tapi Tetap Dihormati oleh Para Musuhnya

Mentari DP

Editor

Sejak muda sudah tertarik dengan kemiliteran, sehingga dia masuk ke Akademi Militer West Point dan lulus tahun 1829 dengan predikat nomor dua terbaik.
Sejak muda sudah tertarik dengan kemiliteran, sehingga dia masuk ke Akademi Militer West Point dan lulus tahun 1829 dengan predikat nomor dua terbaik.

Intisari-Online.com - Robert Edward Lee yang semasa kecil mendapat nama julukan Bobby, dilahirkan di Stratford, Virginia, pada 19 Januari 1807.

Sejak muda sudah tertarik dengan kemiliteran, sehingga dia masuk ke Akademi Militer West Point dan lulus tahun 1829 dengan predikat nomor dua terbaik.

Ketertarikannya itu dipenuhi oleh ayahnya, “Light Horse” Harry Lee yang adalah perwiranya George Washington dalam perang kemerdekaan AS.

Semula Robert Lee ditugaskan pada korps zeni dan diakui keberhasilannya dalam tugas membangun tempat pertahanan di St.Louis dan di pelabuhan New York.

(Baca juga:Dilatih dan Dibayar Mahal oleh Amerika Serikat, Manuel Noriega Malah Jadi Agen Ganda)

(Baca juga:Bukan di Pearl Harbour, Serangan Inilah yang Sebenarnya Memicu Amerika Serikat Terlibat dalam Perang Dunia II)

Sementara itu lawannya dalam Perang Saudara Amerika kelak (1861-65), Ulysses Simpson Grant yang lahir 27 April 1822 di Point Pleasant, Ohio, juga didikan West Point, lulus tahun 1843, namun prestasinya biasa-biasa saja.

Dia masuk infanteri dan bersama resimennya bertugas di Texas, antara lain terlibat pertempuran Palo Alto dalam perang dengan Meksiko.

Sesudah berbagai tugas konstruksi militer dalam tahun 1830-an, Robert Lee berdinas di Texas, dan ikut terlibat dalam perang dengan Meksiko.

Sebagai pengintai, dia berhasil melacak keberadaan artileri berat musuh di Vera Crus.

Laporannya ikut menentukan kemenangan AS dalam pertempuran di Cerro Gordo.

Dalam pertempuran ini Lee terluka. Ia pernah pula menjadi perwira pengawas di West Point, antara lain berjasa memperbaiki kurikulum dan metode pendidikan di akademi militer tersebut.

Menjelang pecahnya Perang Saudara Amerika antara negara-negara bagian Utara dengan Selatan AS, Lee bersikap kurang bersimpati terhadap gerakan pemisahan diri di kawasan Selatan.

Ancaman pemisahan itu merupakan reaksi terhadap politik pengakhiran perbudakan oleh Presiden Abraham Lincoln.

(Baca juga:(Foto) Ternyata Amerika Serikat Pernah Mengalami Krisis Ekonomi yang Sangat Parah, 7 Foto Ini Buktinya)

Namun jika disuruh pilih antara kesatuan AS (Union) atau negara bagiannya yang termasuk Selatan, maka Lee tegas menyatakan kesetiaannya pertama adalah untuk Virginia.

Lee berharap sekali bahwa situasi di AS tidak akan mengarah kepada keharusan soal pilihan loyalitas tadi.

Maret 1861, dia dipanggil ke Washington, diangkat sebagai kolonel pada Divisi Kavaleri Pertama.

Lee tampaknya memang sedang dipersiapkan untuk memegang komando senior manakala perang sampai pecah.

Bulan berikutnya dia resmi ditawari memegang komando lapangan US Army, namun Lee menolak dan terus terang mengatakan dia tidak sanggup apabila harus mengangkat senjata terhadap negara-negara bagian Selatan.

Atasannya menganjurkan Lee untuk mengundurkan diri saja sebagai jalan keluar yang terhormat.

Tatkala negara bagiannya, Virginia bergabung ikut Selatan dan memisahkan diri dari Utara, maka kabar itu pun mempertegas sikapnya untuk mengundurkan diri resmi dari US Army.

Begitu mundur, Robert Lee diangkat sebagai panglima pasukan Virginia, pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal serta ditunjuk sebagai penasihat Presiden Jefferson Davis dari Konfederasi Selatan.

(Baca juga:Habiskan Dana Triliunan Rupiah, Satellit Mata-mata Zuma Milik Amerika Serikat Malah Gagal Diluncurkan)

Kesuksesan Lee tercapai tatkala dia berhasil mengalahkan pasukan Utara pimpinan Jenderal George McClellan dalam pertempuran hebat tujuh hari di Malvern Hill.

Setelah itu dia menyerbu ke Maryland. Di Antietam dia diserang lagi oleh McClellan, namun Lee dapat memukulnya mundur kembali ke Virginia.

Sekalipun demikian dia dipaksa mundur kembali ke Virginia.

Pertempuran Antietam pada 17 September 1862 tersebut adalah pertempuran paling berdarah.

Hanya dalam satu hari itu, pasukan Union kehilangan12.400 orang, sementara Konfederasi menderita 13.700 korban.

Robert Lee adalah seorang yang saleh dan sifatnya pun tenang, tidak mau memaksakan kehendaknya terhadap orang lain.

Orang menganggap di situlah kelemahannya sebagai pemimpin.

Pasalnya dia menganggap tugas utama panglima seperti dirinya adalah membawa pasukannya menghadapi musuh pada situasi yang paling menguntungkan.

Sedangkan arah taktis pertempurannya diserahkan kepada para panglima divisi.

(Baca juga:Menolak Keras Protokol Kyoto, Amerika Serikat Benar-benar Tak Mau Ambil Pusing untuk Merawat Bumi)

Karena itu tidak mengherankan adanya beberapa perwira seniornya yang sukar tunduk kepadanya, seperti Jenderal James Long street.

Situasi seperti inilah yang kemudian berakibat fatal seperti pada kekalahan Selatan dalam pertempuran di Gettysburg.

Robert Lee selesai perang kembali ke Richmond. Diperlakukan dengan baik dan penuh hormat oleh bekas musuh-musuhnya dari Utara.

Sementara dari semua bekas anak buahnya dia tetap dicintai dan disegani.

Akhir 1885 dia menerima tawaran sebagai rektor Washington College di Lexington, Virginia.

Dia dianggap sebagai teladan ketundukannya sebagai militer terhadap otoritas sipil.

Selanjutnya dia habiskan waktunya untuk usaha rehabilitasi wilayah Selatan, baik ekonomi maupun pembangunan lainnya.

Lee yang berkepribadian dan berkarakter kuat ini telah menjadi orang yang memikul beban terberat di Amerika kala itu.

Dengan pengecualian pada Presiden Lincoln yang bebannya lebih berat karena mempertaruhkan kesatuan akibat pecahnya AS.

Lee meninggal dunia di Lexington pada 12 Oktober 1870. Hingga sekarang, namanya tetap memperoleh tempat terhormat di Selatan.

(Baca juga:Mail Baby, Layanan Mengirim Bayi Menggunakan Pos yang Pernah Legal di Amerika Serikat)

Artikel Terkait