Yoshiko Kawashima segera menjadi sosok yang populer dan terkenal, tampil di siaran radio dan bahkan memberikan pidato publik, surat kabar pun menerbitkan serial cerita fiksi dan non-fiksi dari perbuatannya.
Popularitasnya yang meningkat menciptakan masalah dengan Tentara Kwantung Jepang, karena mereka menganggap nilainya sebagai aset telah berkurang.
Nada kritis Kawashima terhadap kebijakan militer Jepang di Manchukuo mengurangi nilainya sebagai simbol propaganda.
Pada tahun 1940, Kawashima pun memudar dari pandangan publik, melansir Museum Fact.
Dia pun pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan akhirnya menetap di Beijing yang diduduki Jepang.
Menjelang akhir tahun 1930-an, Kawashima kecanduan opium dan kondisi mentalnya perlahan-lahan memburuk.
Pada tahun 1945, dia kembali ke Beijing yang diduduki Jepang dan tinggal di sana sampai akhir Perang Dunia II.
Setelah Jepang menyerah secara resmi pada September 1945, pasukan Tiongkok mendapatkan kembali semua wilayah mereka yang hilang termasuk Beijing.
Keputusan Kawashima untuk tinggal di Beijing mungkin bukan yang terbaik.
Soalnya ayah angkat Kawashima tidak pernah mendaftarkannya secara resmi sebagai warga negara Jepang dan menurut catatan, Kawashima adalah warga negara China yang bekerja untuk militer Jepang dalam invasi ke tanah China. Dan ini tidak dapat diterima oleh orang Cina.
Pasukan China kemudian menangkap Kawashima, dan selama persidangannya, orang-orang menjulukinya sebagai hanjian, atau 'pengkhianat ras'.
Dia kemudian didakwa dengan pengkhianatan dan dijatuhi hukuman ditembak.
Pada 25 Maret 1948, Yoshiko Kawashima dieksekusi dengan tembakan peluru di bagian belakang kepalanya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari