Penulis
Intisari-Online.com – Phejin, penulis buku ‘The Last of Tattoed Headhunters’, mendokumentasikan tradisi tato dan ritual perburuan kepala leluhurnya.
Dia berkolaborasi dengan fotografer Peter Bos untuk mengeksplorasi perubahan cara hidup dan budaya klan prajurit ini.
Phejin mengisahkan ketika masih kecil, duduk di pangkuan kakeknya di depan perapian, dengan sepanci teh hitam yang mendidih.
Di tempat itu sang kakek menceritakan kisahnya saat muda yang membuat Phejin terpesona.
Tetapi yang paling membuat Phejin terpukau adalah tato hitam yang melengkung di atas mata, hidung, bibir dan dagu.
Tidak hanya itu, leher, dada, dan tubuh sang kake dipenuhi dengan bentuk dan pola geometris.
Ketika usianya 4 tahun, Phejin mulai menyadari bahwa tubuh bertato milik kakeknya itu, sama seperti anggota suku lainnya, yang sangat luar biasa.
Katanya, “Semua suku akan melewati rumah kami atau menginap semalam. Semuanya memiliki tato. Saya selalu percaya bahwa tubuh bertato adalah normal.”
Konyak, suku kuno tempat Phejin hidup ini tinggal di lebih dari 120 desa di negara bagian Nagaland Timur Utara di India, yang berbatasan dengan Myanmar.
Suku Konyak ini sangat individualistis, yang percaya dengan cara penyelesaian perselisihan dengan berburu kepala, memenggal musuh-musuh mereka.
Tidak hanya itu, Konyak juga memburu kepala binatang seperti sapi, babi hutan, dan monyet.
“Selama ratusan tahun, orang-orang kami benar-benar terisolasi, bahkan dari daratan India,” kata Phejin.
Namun, perubahan dan modernitas kemudian menyapu wilayah Konyak dengan kecepatan yang sungguh membuat khawatir.
Kata Phejin, “Saya tidak menyangkal bahwa perubahan itu baik, terutama ketika itu berhubungan dengan pendidikan. Tetapi dalam kasus Konyak, perubahan itu terlalu banyak dan cepat.”
Phejin yang pernah mengunjungi Museum National Kolkata pada Agustus 2014, menyadari betapa banyak dari sejarah budaya India yang terpampang di sana, tetapi tidak ada satu pun informasi tentang keunikan sukunya.
Mungkin ketakutan orang untuk mengunjungi wilayah para pejuang ini yang menjadi salah satu alasan mengapa tidak ada secuil pun informasi tentang suku Konyak itu.
“Ini mengejutkan, bahkan di India, identitas Konyak sama sekali tidak diketahu,” kata Phejin.
Bagi Phejin, suara-suara dari anggota suku Konyak pun harus didengar.
Dalam tradisi suku ini, prajurit suku Konyak percaya bahwa tengkorak manusia memiliki kekuatan magis.
Dianggap sebagai tempat di mana ‘Yaha’ atau jiwa tinggal, maka ketika seorang prajurit Konyak akan memenggal kepala, akan membawa kebaikan bagi sukunya.
Tengkorak dianggap memiliki seluruh kekuatan jiwa, yang sangat berafiliasi dengan kemakmuran dan kesuburan, serta digunakan untuk kepentingan desa, kehidupan pribadi, dan pertanian.
Dan dari sinilah tradisi tato dimulai.
Ketika seorang prajurit memenggal musuhnya makan akan dihiasi dengan tato leher yang berharga.
Namun, jika prajurit itu hanya menjadi bagian dari kelompok berburu dan tidak memenggal kepala, maka ia hanya akan mendapatkan tato di wajah.
Tidak hanya berhubungan dengan perburuan kepala, pola-pola tato juga menunjukkan klan, mewakili keberania, status, dan prestasi.
“Bagi wanita dan anak perempuan, tato menandai transisi dalam hidup dari fase ke fase berikutnya,” tambah Phejin.
Tato khusus juga dimiliki wanita yang menandakan prestasi anggota laki-laki dari keluarga mereka.
Perubahan terjadi ketika Inggris mulai menangani perkebunan teh Assam.
Tahun 1870-an, para misionaris mulai mendirikan sekolah di wilayah tersebut, dan beberapa dekade berikutnya, ribuan orang menjadi Kristen.
Tidak terkecuali suku Konyak.
Budaya tato yang unik pun mulai memudar seiring generasi muda mulai mengadopsi praktik modern.
Tentu saja, Phejin tidak sepenuhnya menyalahkan para misionaris.
Bagi Phejin, pendidikan itu penting, tetapi para misionaris mengajarkan bahwa agama adalah simbol kelahiran kembali.
Maka, segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan agama, ‘dibuang’ begitu saja, termasuk tradisi dan budaya Konyak.
Pada bulan April 2015, Phejin bertemu dengan prajurit yang memiliki tato leher, Sevenrahpa Chingrahpa.
Pria berusia 75 tahun itu tinggal di desa Chen Loishu, bagian terpencil dari Kabupaten Mon.
Pada awalnya Chingrahpa tidak mau difoto, lanjut Phejin, “Untungnya, kami dapat meyakinkannya.”
Dilihat dari foto di buku tersebut, memang terbukti bagaimana perubahan waktu telah mempengaruhi suku Konyak ini.
Ada sebuah foto prajurit tua dengan cucunya yang mengenakan pakaian barat, kontras sekali dengan apa yang dikenakan sang kakek.
Mulai berabad-abad lampau, Konyak telah menurunkan tradisi dan kisah ke generasi yang lebih muda.
Setelah anggota yang tertua meninggal, ini membuat Phejin khawatir karena budaya, sejarah, dan tradisi pun akan menghilang selamanya.
Inilah mengapa dia melakukan perjalanan dari desa ke desa di kabupaten Mon Nagaland selama tiga tahun terakhir.
Dia menggali informasi dari para tetua suku Konyak dan merekam kisah-kisah pribadi, lagu, puisi, serta cerita rakyat.
Peter Bos, fotografer yang membantunya, mendokumentasikan tato wajah dan tubuh mereka yang unik, yang menandakan suku, klan, dan status di masyarakat.
Dalam budaya suku Konyak, kehidupan, perburuan kepala, dan tato saling berhubungan.
Kini, prajurit tua dan istri mereka menjadi bukti nyata terakhir dari sebuah tradisi yang pernah hidup di bagian dunia ini.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari