Penulis
Intisari - Online.com -Hampir setahun setelah upaya kudetanya yang gagal, kebiasaan Donald Trump untuk menempatkan ambisi politiknya di atas kebenaran dimainkan lagi.
Donald Trump kini bersama rekan-rekannya mencari cara menunda dan menyangkal penyelidikan komite terpilih DPR atas kekacauan 6 Januari di Gedung Capitol AS.
Kampanye halangan Trump, yang kini sudah mencapai Mahkamah Agung AS, menimbulkan pertanyaan mengenai apakah panel itu yang sudah menghadapi tenggat waktu untuk masa pemerintahan tahun depan, akan memenuhi tujuannya guna mencatat sejarah upaya Trump membatalkan pemilihan.
Orang lingkar dalam Trump kini fokus dalam sebuah strategi mencegah perhitungan komprehensif atas salah satu hari paling mengerikan di Amerika Serikat (AS) dan mencari cara menghapus sejarah saat Trump bersiap untuk menjalankan kampanye menjadi Presiden AS lagi.
Dilansir dari CNN, upaya panel untuk masuk ke dalam dunia Trump dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Sayap Barat pada 6 Januari semakin intens menuju Natal 2021 ini.
Penyelidikan mereka menawarkan pandangan baru ke hal-hal yang baru dibahas.
Trump sementara itu merespon dengan meningkatkan strateginya menyangkal kebenaran.
Sudah jelas sekarang anggota komite sedang mencoba membangun gambaran rinci mengenai apa yang dikatakan, dilakukan dan dipikiran Trump menuju kekacauan 6 Januari dan pada jam-jam ketika gedung Capitol diserbu setelah ia 'melepaskan' pasukan pendukungnya dengan kebohongan mengenai kecurangan pemilu.
Pertama kalinya, panel secara publik menyeru kesaksian dari pembuat undang-undang yang terikat dengan upaya Trump mendiskreditkan pemilihan 2020 dan tetap berkuasa.
Panel meminta anggota partai Republik Scott Perry untuk membicarakan upayanya menempatkan Jefferey Clark, pejabat yang meminta Departemen Keadilan mengejar kebohongan Trump mengenai kecurangan pemilu sebagai Jaksa Agung.
Anggota Republik dari negara bagian Pennsylvania itu menolak, berargumen jika panel itu dibentuk secara ilegal.
Padahal panel itu dibentuk oleh hasil pemungutan suara seluruh anggota DPR.
Komite juga bertanya kepada kroni Trump yang lain, anggota partai Republik Jim Jordan, untuk berdiskusi mengenai apa yang dikatakan sebagai berbagai komunikasinya dengan Trump pada 6 Januari.
Anggota Republik Ohio itu belum merespon.
Namun kesetiaannya dengan Trump dan serangan kuat ke komite menunjukkan ia tidak akan menjadi saksi yang mau bekerjasama.
Anggota komite dapat menghadapi keputusan dengan segera mengenai apakah mereka akan memanggil Perry dan Jordan, sebuah gerakan yang pastinya akan membuat buruk hubungan antara partai Demokrat dan Republik di DPR.
Partai Demokrat telah mengirimkan pengajuan kriminal ke Departemen Pengadilan mengenai dua saksi yang menolak dipanggil untuk pengadilan.
Keduanya adalah guru politik Trump Steve Bannon yang telah didakwa, serta mantan kepala staf Gedung Putih Mark Meadows.
Ada juga pandangan baru muncul dari dokumen pengadilan melibatkan juru bicara Trump Taylor Budowich, yang menunjukkan jika komite sedang memperluas investigasinya ke pendanaan pasukan pendukung Trump yang membuat terjadinya kekacauan Gedung Capitol.
Rekan Trump yang tidak ingin bersaksi mengharapkan klaim Trump atas hak lebih eksekutif Trump yang banyak dilihat meragukan bagi para ahli, untuk berbicara mengenai yang mereka tahu mengenai kekacauan itu.
Dua hari sebelum Natal, Trump, yang memiliki sejarah keluar dan masuk kantor itu menggunakan sistem hukum untuk menghindari dan menunda akuntabilitas, pergi ke Mahkamah Agung.
Tampaknya ia membantu upaya pemblokiran rilisnya dokumen Gedung Putih.
Trump meminta anggota Mahkamah Agung untuk melakukan review menyeluruh atas kasus itu untuk menghentikan rilisnya catatan pidato, catatan aktivitas dan menempatkan putusan pengadilan yang lebih rendah yang memungkinkan untuk diserahkan.
Komite dengan cepat merespon mencari cara menghentikan upaya Trump.
Komite meminta Mahkamah Agung untuk mengatakan di pertengahan bulan depan apakah mereka akan mengambil kasus tersebut.
Tim hukum Trump berargumen jika penting bagi presiden di masa depan itu untuk yakin jika pertimbangan mereka dengan penasihat akan dirahasiakan bahkan ketika mereka sudah meninggalkan kantor.
Namun bagi Presiden Joe Biden, yang kini memegang hak eksekutif ini, berargumen jika penting bagi bangsa mencapai pemahaman apa yang sebenarnya terjadi pada kekacauan Capitol dan menolak klaim Trump.
Ide jika mantan Presiden yang dimakzulkan dua kali bertingkah membela posisi yang sering ia kompromikan dengan penyalahgunaan wewenang dan mencapai tujuan pribadinya tentu tidak bisa dianggap sebelah mata.
Namun hal ini mengancam atas adanya perselisihan konstitusional yang dapat menggagalkan upaya komite guna mencari tahu niat dan tindakan Trump 6 Januari lalu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini