Penulis
Intisari - Online.com -Herry Wirawan adalah guru pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat, yang memperkosa murid-murid pesantrennya.
Ia memperkosa belasan korban, 11 di antaranya berasal dari Garut, Jawa Barat.
Salah satu korbannya baru berusia 14 tahun saat melahirkan November 2021 lalu.
Ia melahirkan kedua kalinya, dan anak pertamanya berusia 2,5 tahun kemudian beberapa bulan lalu melahirkan anak ekdua.
"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat, ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan.
Diah menawarkan bantuan setelah korban melahirkan jika orangtuanya tidak sanggup mengurus.
Namun, orangtuanya mau mengurusnya.
"Setidaknya, mereka sudah menerima takdir ini, nanti saya berencana mau nengok juga ke sana," katanya
Belasan korban perkosaan guru pesantren tersebut masih banyak yang memiliki pertalian saudara bahkan bertetangga.
Para orangtua santri dari Garut tersebut merasakan kecewa, marah dan perasaan yang berkecamuk mengetahui anak-anak mereka menjadi korban perkosaan gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.
Diah juga pilu menyaksikan sendiri momen pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya.
Bagi para orangtua tersebut, anak mereka masih merupakan anak yang polos dan berangkat untuk bersekolah, untuk menuntut ilmu.
Namun mereka harus melihat ketika anak-anak mereka pulang bahwa anak mereka sudah memiliki anak setelah dicabuli guru ngaji yang mereka percaya sebelumnya.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," kenang Diah.
Peristiwa pilu tersebut terjadi ketika dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Kondisi yang sama, menurut, Diah juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.
Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Orangtua bukan orang mampu
Diah mengatakan P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orangtuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru pesantren.
P2TP2A mengatakan mereka siap menerima anak tersebut jika para orangtua tidak mau mengurusnya.
Menurut Diah, para orangtua korban bukan orang-orang yang mampu.
Mereka hanya bekerja sebagai buruh harian lepas, pedagang kecil dan petani yang awalnya merasa terbantu karena anaknya bisa pesantren sambil sekolah gratis di pesantren tersebut.
"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.
Banyak emosi yang terkuras, menurut Diah, terutama ketika dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikologi P2TP2A.
"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini