Penulis
Intisari-online.com - Selain pengambilan utang oleh pemerintah BUMN juga menanggung utang untuk pembiayaan pembangunan beberapa proyek.
Salah satunya adalah biaya investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Sejak peletakan batu pertama, Presiden Jokowi dan dan pemerintah menegaskan Kereta Cepat Jakarta Bandung, murni proyek BUMN.
Pemerintah menyebut sepenuhnya modal anggota konsorsium dari pinjaman China.
Jokowi dan pemerintah sama-sama tidak memberikan jaminan apapun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah.
Alasannya, proyek kereta cepat berjarak 150 km itu sepenuhnya dikerjakan konsorsium BUMN, dengan Perusahaan China dengan perhitungan bisnis.
Selain dari APBN, proyek itu sebenuhnya berasal dari utang China.
Dalam keterangannya, PT Kereta Api Cepat Indonesia China (KCIC) dengan struktur pembiayaan KCJB adalah 75 persen dari nilai proyek yang dibiayai China Development Bank (CBD), dan 25 persen dibiayai ekuilitas konsorsium.
Dari 25 persen ekuitas tersebut, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia, karena menjadi pemegang saham mayoritas.
Dengan demikian, pendanaan dari konsorsium Indonesia, sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai ekuitas dan pinjaman pihak China, tanpa jaminan dari Pemerintah Indonesia.
PMN yang akan dialokasikan pemerintah sebesar Rp.3,5 triliun digunakan untuk pembayaran base equalitu capital, atau kewajiban dasar dari konsorsium.
Lalu, pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dollar AS atau Rp64,9 triliun.
Menanggapi hal ini ekonom Faisal Basri mengatakan, proyek kereta cepat Jakarta Bandung ini, diprediksi balik modal dalam 139 tahun.
Asumsi tersebut berdasarkan perhitungan biaya operasional, sehingga bila ditotal, balik modal proyek yang didanai utang China tersebut bisa lebih lama lagi.
Proyek Kereta Api Cepat Jakarta Bandung ini mengalami pembengkakan, biaya dan gagal memenuhi target awal penyelesaian Rp86,5 triliun.
Kini biayanya menjadi Rp114,24 triliun alias membengkak Rp27,09 triliun, dana sebesar itu tak sedikit.
Target penyelesaiannya pun molor dari tahun 2019 mundur ke tahun 2022.
Melonjaknya biaya investasi kereta cepat Indonesia-China sudah melampaui dana pembangunan untuk proyek yang sama ditawarkan Jepang melalui JICA, bahkan dengan bunga utang lebih rendah.
Agar proyek tersebut tidak sampai mangkrak, pemerintah berencana menambal kekurangan dana dengan uang APBN melalui skema penyertaan modal negara pada BUMN yang terlibat proyek.
Kalangan yang kontra terhadap proyek tersebut menyebutkan, proyek ini perkembangannya tak sesuai janji pemerintah dulu.
Dengan kondisi tersebut, Faisal melakukan simulasi terkait kapan proyek ini bisa balik modal.
Menurutnya berdasarkan simulasi dalam skenario buruk, proyek ini bisa balik modal setelah 139 tahun mendatang.
"Kami ada simulasi sederhana, kalau nilai investasi Rp 114 triliun, dengan kursi yang diisi 50 persen dengan jumlah trip sekitar 30 kali sehari dan harga tiket Rp 250 ribu, maka kereta cepat baru balik modal 139 tahun lagi. Ini aja belum memperhitungkan biaya operasi," ujar Faisal.
Jika dengan nilai investasi sama, kursi terisi lebih tinggi, sebesar 60 persen dengan jumlah trip lebih banyak sebanyak 35 trip sehari, dengan tiket Rp300 ribu, proyek ini bisa balik modal 83 tahun.
Skema lain, jika terisi penumpang 80 persen dengan jumlah 30 trip sehari, dengan tiket Rp350 ribu, bakalan balik modal 62 tahun.
Kemudian skenario paling optimis adalah jumlah penumpang penuh mencapai 100 persen dengan 39 trip sehari, lalu tiket Rp400 ribu, makan bisa balik modal 33 tahun.
Terakhir, adalah dengan penumpangh 100 persen sepanjang tahun melayani 36 trip sehari dengan tiket Rp300 ribu, butuh 45,6 tahun proyek ini balik modal.