Penulis
Intisari-Online.com – Terjadi sekitar bulan Februari 2014, jagat situs internet sempat heboh dengan foto-foto spektakuler fotografer ini.
Foto-foto spektakuler fotografer Olivier Grunewald, mengetengahkan gunung berapi Kawah Ijen di Indonesia.
Fotografer Prancis ini mengambil dokumentasi selama pembuatan film dokumenter baru yang dia rilis bersama presiden Masyarakat Vulkanologi Jenewa, Regis Etienne.
Foto-foto tersebut diambil tanpa bantuan filter atau peningkatan digital apa pun, menunjukkan bahwa pancara biru elektrik yang menakjubkan berasal dari gunung berapi itu.
“Cahaya biru ini, tidak biasa untuk gunung berapi, bukan lava itu sendiri, karena dapat dibaca di banyak situs web,” jelas Grunewald.
Kalau bukan lava itu sendiri yang membuatnya berwarna biru, karena kita tahu bila lava menampilkan warna merah kekuningan di foto, lalu apa sebenarnya?
Menurut Grunewald, melansir Smithsonianmag,” Ini karena pembakaran gas belerang yang bersentuhan dengan udara pada suhu di atas 360 derajat Celcius.”
Dengan kata lain, lava, yaitu batuan cair yang muncul dari Bumi pada suhu yang sangat tinggi, tidak berwarna secara signifikan berbeda dari lava di gunung berapi lain, yang meski sedikit berbeda komposisi mineralnya, tetapi tampak berwarna merah terang atau oranye, dalam keadaan cair.
Tetapi yang terjadi di Kawah Ijen adalah jumlah gas belerang yang sangat tinggi muncul pada tekanan dan suhu tinggi (kadang-kadang lebih tinggi dari 600 derajat Celcius) bersama dengan lava.
Ketika terkena oksigen yang ada di udara dan dipicu oleh lava, maka belerang mudah terbakar, dan nyalanya berwarna biru cerah.
Ketik ada begitu banyak belerang, yang kadang-kadang mengalir ke bawah permukaan batu saat terbakar, membuatnya tampak seolah-olah lahar biru tumpah ke lereng gunung.
Tetapi itu hanya nyala api yang berwarna biru, bukan lahar itu sendiri.
Namun, efek ini hanya terlihat pada malam hari, bila pada siang hari, gunung berapi itu terlihat seperti gunung berapi lainnya.
"Penglihatan api di malam hari ini aneh dan luar biasa," kata Grunewald.
"Setelah beberapa malam di kawah, kami merasa benar-benar hidup di planet lain."
Grunewald pertama kali mendengar tentang fenomena tersebut dari Etienne, yang mengunjungi gunung berapi tersebut pada tahun 2008 bersama seorang pemandu asal Indonesia.
Setelah diperlihatkan foto Etienne yang menampilkan siluet penambang anak yang dikelilingi oleh cahaya biru, ia terkesima dengan ide memotret penambang belerang gunung yang bekerja di malam hari.
Para penambang ini mengekstrak batuan belerang, yang terbentuk setelah api biru padam dan gas belerang telah mendingin dan bergabung dengan lava untuk membentuk batuan yang dipadatkan,
Ekstrak batuan belerang itu digunakan dalam industri makanan dan kimia.
"Untuk melipatgandakan pendapatan mereka yang sedikit, orang-orang yang paling keras bekerja di malam hari, dengan cahaya biru elektrik dari asam sulfat yang dihembuskan oleh gunung berapi," kata Grunewald.
Beberapa pekerja adalah anak-anak, yang berusaha menghidupi keluarga mereka dengan segala cara.
Mereka membawa keranjang berisi batu dengan tangan menuruni gunung, menjualnya dengan harga sekitar 680 rupiah Indonesia per kilogram, setara dengan sekitar enam sen.
Di negara di mana pendapatan harian rata-rata adalah sekitar $13, banyak yang bekerja semalaman untuk menambah penghasilan mereka.
Grunewald memperkirakan bahwa para penambang malam hari ini dapat menambang dan membawa antara 80 hingga 100 kilogram selama dua belas jam kerja, sekitar $5 hingga $6.
Grunewald dan Etienne memproduksi film dokumenter tersebut sebagian untuk memberi perhatian pada kondisi kerja yang keras ini.
Sebagian besar penambang itu tidak memiliki masker gas (yang dipakai para fotografer selama pemotretan dan dibagikan kepada para penambang sesudahnya).
Akibatnya, akan menderita masalah kesehatan karena terlalu lama terpapar sulfur dioksida dan gas beracun lainnya.
Memotret foto-foto yang mencolok ini, yang beberapa diambil hanya beberapa meter dari api, jauh lebih menuntut secara fisik daripada sebagian besar proyek lanskap dan margasatwa Grunewald sebelumnya.
"Masalah utamanya adalah gas asam yang berputar terus-menerus di kawah," katanya.
"Malam secara serius meningkatkan kesulitan juga, karena menjadi hampir mustahil untuk melihat ketika gas padat tiba, kadang-kadang, kami terjebak dalam gumpalan gas selama lebih dari satu jam tanpa bisa melihat tangan kami."
Hanya 30 malam di kawah, didistribusikan selama enam perjalanan, sudah cukup untuk menunjukkan kepada Grunewald betapa merusak lingkungan tambang ini.
"Selama perjalanan pertama saya, saya kehilangan kamera dan dua lensa yang telah terkorosi oleh asam," katanya.
"Setelah kami kembali ke rumah, butuh waktu hingga tiga minggu agar kulit kami kehilangan bau belerang."
Foto-fotonya membuat api biru tampak sangat indah, bahkan surealis.
Tetapi bagi para penambang yang menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun di gunung berapi, sulfur dioksida cukup nyata, dan efek kesehatan dari paparan kronis.
Efek kesehatan yang terjadi, mulai dari iritasi tenggorokan dan paru-paru, kesulitan bernapas, dan kecenderungan penyakit paru-paru, yang dapat menghancurkan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari