Perang disebutkan, dan penguasa harus menghadapi perpecahan di ibukotanya.
Memang, tema utama dari prasasti tersebut adalah kutuan bagi yang melanggar janji kesetiaan lewat meminum air suci.
Hukuman untuk ketidaksetiaan adalah kematian, tapi mereka yang mematuhi penguasa mendapat kesejahteraan abadi.
I-ching merekomendasikan Palembang, dengan lebih dari seribu biksu, sebagai pusat sempurna untuk memulai belajar teks Buddha.
Prasasti abad ke-7, meski begitu, fokus kepada Buddhisme di luar konteks sekolah.
Prasasti itu menunjukkan pengaruh Vajrayna, atau Buddhisme Tantrik, mereka berhadapan dengan yantras, simbol dari bantuan kekuatan magis yang diberikan oleh penguasa sebagai hadiah kepada pelayan yang setia.
Prasasti Talang Tuwo tahun 684 yang mencatat doa raja yang berharap sebuah taman ia telah rawat bisa memberi berkah kepada semua makhluk hidup, menjadi indikasi utama kehadiran Buddhisme di dalam konteks kekuatan kerajaan.
Bahasa dan gaya prasasti, yang memasukkan konsepsi Tantrik India, memperjelas jika penguasa menunjukkan dirinya sebagai bodhisattva, seseorang yang telah menjadi buddha sendiri, mengajari beberapa tahapan menuju pencerahan sepenuhnya.