Penulis
Intisari-Online.com - Hasil Referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999 membuat Timor Leste lepas dari Indonesia.
Tetapi, butuh waktu sekitar 2,5 tahun bagi Timor Leste untuk resmi merdeka dan diakui internasional sebagai negara berdaulat.
Selama tahun-tahun pertama Timor Leste lepas dari Indonesia, wilayah ini berada di bawah administrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Melansir laporan dari laman resmi Human Rights Watch tahun 2011, dalam masa transisi setelah lepas dari Indonesia, PBB membentuk United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET).
UNTAET menggantikan INTERFET, tentara PBB, yang sebelumnya dikirim ke Timor Timur untuk mengembalikan stabilitas dan menjaga perdamaian.
Dikutip dari buku Self Determination in East Timor oleh Ian Martin, hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus.
Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen dari total penduduk Timtim memilih untuk menolaknya.
Apa saja yang terjadi di Timor Leste usai Timor Leste lepas dari Indonesia?
Krisis Tahun 1999
Krisis Timor Timur tahun 1999 dimulai dengan serangan militan anti-kemerdekaan terhadap warga sipil, dan meluas menjadi kerusuhan di seluruh Timor Timur, berpusat di ibu kota Dili.
Kerusuhan meletus setelah mayoritas pemilih referendum Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia.
Peristiwa ini menyebabkan ribuan penduduk tewas, serta memaksa ratusan ribu orang mengungsi.
Mengutip The Guardian, Kampanye kekerasan selama tiga minggu tersebut menewaskan 2.600 orang, hampir 30.000 orang mengungsi dan sebanyak 250.000 orang dikirim secara paksa melewati perbatasan ke Timor Barat Indonesia setelah pemungutan suara.
Situasi ini pula yang membuat diturunkannya tentara PBB (INTERFET) ke Timor Timur.
Pada tanggal 20 September 1999, pasukan penjaga perdamaian internasional pimpinan Australia, tersebut tiba untuk memulihkan ketertiban.
Tapi ketika itu, kerusakan besar telah terjadi. Kota-kota dan desa-desa hancur dan infrastruktur vital hancur.
Indonesia Mengakui Hasil Referendum Timor Timur
Mengutip Kompas.com, pada 19 Oktober 1999 Sidang Umum MPR menyetujui hasil referendum Timor Timur yang artinya Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keputusan tersebut kemudian diatur dalam Ketetapan Nomor V/MPR/1999, yang menyatakan bahwa Ketetapan Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam NKRI tidak berlaku lagi.
Kemudian, Xanana Gusmao pun dibebaskan setelah tujuh tahun menjadi tahanan politik di Jakarta.
Ia kembali ke Dili sebagai pemimpin dari Conselho Nacional de Resistencia Timorense (CNRT).
Masa Transisi Timor Leste
Dalam masa transisi setelah lepas dari Indonesia, PBB membentuk United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET).
Badan ini dibentuk sebagai hasil dari Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 25 Oktober 1999.
UNTAET bertanggung jawab penuh terhadap urusan administrasi Timtim selama masa transisinya menuju kemerdekaan.
Badan ini tidak hanya terdiri dari komponen-komponen sipil, tetapi juga kekuatan militer dengan kekuatan hingga 8.950 prajurit.
Kemudian, serah terima komando operasi militer dari INTERFET ke UNTAET selesai dilaksanakan pada 28 Februari 2000.
Sekjen PBB saat itu, Kofi Anan, menunjuk Sergio Vieira de Mello dari Brazil, yang sebelumnya merupakan Ketua UNMIK, sebagai perwakilan khusus dan mengatur urusan administrasi transisi.
Persiapan kemerdekaan Timtim dimulai dengan diadakannya pemilihan konstituante pada 30 Agustus 2001.
Pemilihan tersebut merupakan pemilihan badan perwakilan pertama secara demokratis dalam sejarah Timor Timur.
Tugas utama konstituante adalah menyusun draft konstitusi untuk Timor Timur yang merdeka dan demokratis.
Pada April 2002, Xanana Gusmao pun dipilih sebagai Presiden pertama Timtim dengan persentase 82,7 persen dari total pemilih.
Setelah 2,5 tahun pengurusan administrasi oleh PBB, Timor Timur akhirnya resmi merdeka pada 20 Mei 2002.
Setelah melewati masa-masa pendudukan yang panjang sejak Bangsa Portugis, kini Timor Leste berdiri sebagai sebuah negara sendiri.
Baca Juga: Meski Menantang, PJJ Beri Peluang bagi Guru untuk Tingkatkan Kompetensi
(*)