Penulis
Intisari-Online.com – Menjadi Raja atau Firaun di masa Mesir Kuno bisa sama-sama terhormatnya, bergengsi, namun juga sama berbahayanya.
Demikianlah, di akhir pemerintahannya, segalanya menjadi tidak beres bagi Firaun Apries.
Sepertinya dia tidak memiliki Dewa maupun orang-orang di sisinya.
Dia dikhianati, hingga harus melarikan diri dari negaranya sendiri.
Dan menurut beberapa sumber sejarah, bahkan Raja Mesir Kuno itu dibunuh oleh rakyatnya sendiri.
Pemberontakan, pengkhianatan, dan kemungkinan pembunuhan menandai kehidupan Firaun Apries, yang mewarisi takhta dari ayahnya pada 589 SM.
Raja keempat dari Dinasti Kedua Puluh Enam (Periode Saitic) memerintah selama 19 tahun, tetapi kebijakan luar negerinya yang gagal membuatnya kehilangan nyawa.
Firaun Apries mengalami nasib sial menjadi Raja tak lama setelah Pengasingan Babilonia, dan intervensinya dalam situasi politik kawasan adalha salah satu dari dua kesalahan utamanya.
Untuk memahami apa yang menyebabkan peristiwa bersejarah ini, penting untuk mengetahui mengapa kerajaan Yehuda dan Babel tetap berada dalam konflik yang berkepanjangan.
Kekaisaran Asyur mulai menunjukkan kelemahannya, dan ketika Ashurbanipal naik takhta, dia tidak memulai banyak aksi militer.
Dia menghabiskan lebih banyak waktunya untuk memerintah daripada menaklukkan.
Pada tahun-tahun berikutnya setelah pemerintahannya, Asyur diperintah oleh Raja-raja yang lemah.
Kelemahan inilah yang membuka pintu bagi Nabopolassar untuk merebut kekuasaan di Babel, sebuah negara taklukkan pada saat itu, dan mematahkan cengkeraman Asyur.
Pemerintahan Nabopolassar dipenuhi dengan peperangan dan pertempuran melawan Asyur.
Nebukadnezar II, sang putra, yang akhirnya menghancurkan kekuatan Mesir dan Kekaisaran Asyur.
Yehuda berdiri di jalannya untuk menguasai wilayah itu secara final dan terakhir.
Pada 597 SM, Nebukadnezar II (634 SM-562 SM), Raja Babilonia Kasdim di Mesopotamia dari 605 SM, menyerang Yehuda, merebut Yerusalem dan mendeportasi orang-orang Yahudi ke Babel.
Inilah yang memulai apa yang disebut ‘Pengasingan Babilonia’ dengan deportasi Yoyakhin, seorang raja Yehuda, yang memerintah hanya tiga bulan sepuluh hari, dari tahun 609 hingga 598 SM, bersama dengan keluarganya.
Hampir 10.000 warga Yahudi terkemuka seperti profesional, orang kaya, imam, dan pengrajin, juga terpaksa pindah ke kota Babel.
Sebagai bagian dari usahanya untuk mempertahankan wilayah di bawah kendalinya, rupanya tidak mudah menundukkan negara ini, Nebukadnezar mengangkat Zedekia sebagai Raja Yehuda menggantikannya (memerintah dari tahun 597 hingga 586 SM).
Zedekia merupakan Raja Yehuda yang terakhir, sebelum kehancuran kerajaan oleh Babel.
Firaun Apries kemudian memutuskan untuk membantu kerajaan Yehuda, dan pada tahun 588 SM, dia mengirim unit militer ke Yerusalem untuk melindunginya dari pasukan Babilonia yang dikirim oleh Nebukadnezar II.
Tentara Mesir segera menyadari bahwa mereka bukan tandingan Babilonia, maka mereka pun mundur untuk menghindari konfrontasi yang mematikan, melansir ancientpages.
Setelah pengepungan kota selama 18 bulan, orang Babilonia menghancurkan Yerusalem.
Gagalnya Raja Mesir Kuno untuk membantu Raja Zedekia dari Yehuda melawan Babel diikuti oleh masalah militer di dalam dan luar negeri.
Firaun Apries menghadapi pemberontakan tentara dari garnisun Aswan yang penting secara strategis, tetapi lebih banyak masalah muncul di wilayah lain.
Firaun Apries mengirim pasukan untuk ‘membantu Libya melawan penjajahan Yunani Dorian’.
Tapi, hasilnya malahan bencana bagi orang Mesir.
Kampanye militer Raja Mesir melawan Yunani menyebabkan sejumlah besar kerugian di tentara reguler Mesir dan itulah menjadi alasan utama perang saudara, antara tentara reguler dan tentara bayaran Yunani.
Penggantinya adalha Amasis, seorang perwira militer yang mengkhianati Apries untuk mendapatkan mahkota Mesir.
Amasis II dengan cepat menyatakan dirinya sebagai Firaun pada tahun 570 SM, dan Apries melarikan diri dari Mesir serta mencari perlindungan di negara asing.
Pada 567 SM, Apries, dengan bantuan pasukan Babilonia, berusaha merebut kembali takthta Mesir tetapi gagal.
Sejarawan menyatakan, kemungkinan dia terbunuh selama konfrontasi militer dengan pasukan Amasis.
Herodotus, sejarawan Yunani, menyebutkan versi lain dari peristiwa tersebut.
Dalam karya besarnya Histories, Herodotus menulis bahwa Apries selamat dari pertempuran dan ditangkap.
Mantan Firaun itu diperlakukan dengan baik oleh Amasis II, tetapi orang Mesir menuntut keadilan, dan dia dicekik sampai mati oleh rakyatnya sendiri.
Menurut Herodotus, orang Mesir menyalahkan Apries, ‘membayangkan bahwa dia, dengan niat jahat, mengirim pasukan ke jurang kehancuran.
Rakyatnya sendiri percaya bahwa Apries menginginkan sejumlah besar dari mereka untuk dibunuh agar dia sendiri dapat memerintah dengan lebih aman atas orang Mesir lainnya.’
Apakah orang Mesir Kuno membunuh Firaun Apries atau dia terbunuh dalam pertempuran, masih menjadi subjek yang diperdebatkan oleh para sejarawan.
Ada Firaun di Mesir yang harus membela diri melawan rakyatnya, salah satunya adalah Ramses III, yang menjadi korban konspirasi harem, tetapi rencana pembunuhan itu gagal, dan Raja selamat.
Dalam kasus Apries, jenazahnya kemudian diangkut ke Sais, lalu dimakamkan dengan segala penghormatan sebagai seorang Firaun.
Firaun Apries tidak berhasil, dan kesalahan militer serta keputusan politiknya yang salah menyebabkan kematiannya, tetapi tidak adil bila mengingatnya sebagai raja yang gagal.
Seperti halnya kebanyakan Firaun, Apries adalah seorang pembangun, dan para arkeolog telah menggali reruntuhan konstruksinya.
Banyak monumen dari Apries, yang terkenal, dibangun di dekat bekas kuil: di Sais, Tell Atrib, Bahariia Oasis, dan Memphis.
Konstruksi utamanya adalah istana di Memphis yang dikenal sebagai ‘Istana Apri’.
‘Penemuan’ Istana dan kamp militer yang ada, yang keduanya dibentengi, adalah karena W.F. Petrie, meskipun M. Daninos Pacha kemudian menyelesaikan intervensi pertama pada monumen ini pada tahun 1901-1902, di sisi barat platform tempat Istana dididirikan.
Salah satu artefak terbaru yang melekat pada pemerintahan Firaun Apries diumumkan, ketika seorang petani yang tinggal di dekat Pemerintahan Ismailia Mesir menemukan sebuah prasasti berusia 2.600 tahun.
Prasasti itu dihiasi dengan ukiran cakram matahari bersayap, yang disebutkan oleh para ahli, tulisan hieroglif di dalamnya membahas kampanye militer Firaun.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari