Penulis
Intisari-Online.com – Ketika kita membicarakan orang Mesir Kuno, mungkin gambaran yang muncul di benak Anda adalah gerombolan pekerja yang bekerja untuk membangun piramida secara besar-besaran.
Lalu, pengawas yang memegang cambuk secara brutal, memaksa mereka untuk terus bekerja.
Atau, Anda mungkibn juga membayangkan pendeta Mesir yang melantunkan doa saat mereke bersekongkol untuk membangkitkan mumi.
Itu pasti Anda terlalu sering menonton film tentang mumi ya?
Kenyataannya, yang dilakukan orang Mesir Kuno sangat bebreda.
Kebanyakan orang Mesir percaya bahwa kehidupan di Mesir Kuno begitu sempurna secara ilahi, sehingga pandangan mereka tentang kehidupan setelah kematian adalah kelanjutan abadi dari kehidupan duniawi ini.
Para pengrajin dan buruh yang membangun monumen-monumen besar di Mesir, kuil-kuil megah, dan piramida, dibayar dengan baik untuk keterampilan dan kerja mereka.
Dalam kasus pengrajin, bahkan mereka diakui sebagai ahli atas kerajinan yang mereka buat.
Keyakinan pada akhirat
Monumen negara Mesir dan makam pribadi yang sederhana dibangun untuk menghormati kehidupan mereka.
Ini merupakan pengakuan bahwa kehidupan seseorang cukup penting untuk diingat sepanjang masa, baik itu firaun atau petani yang rendah hati.
Kepercayaan Mesir yang kuat akan kehidupan setelah kematian, di mana kematian hanyalah transisi, memotivasi orang-orang untuk membuat hidup mereka berharga untuk hidup selamanya.
Oleh karena itu, kehidupan sehari-hari di Mesir Kuno berfokus pada menikmati waktu mereka di bumi sebanyak mungkin.
Irama kehidupan
Waktu bersama keluarga dan teman-teman di Mesir Kuno diakhiri dengan permainan, olahraga, festival, dan membaca.
Namun, sihir merasuki dunia Mesir Kuno.
Sihir atau heka lebih tua dari dewa mereka dan merupakan kekuatan unsur yang memungkinkan dewa menjalankan peran mereka.
Dewa Mesir Heka, yang melakukan tugas ganda sebagai dewa obat melambangkan sihir.
Konsep lain di jantung kehidupan Mesir sehari-hari adalah ma’at atau harmoni dan keseimbangan.
Pencarian harmoni dan keseimbangan merupakan hal mendasar bagi pemahaman orang Mesir bagaimana alam semesta bekerja.
Ma’at adalah falsafah penuntun yang mengarahkan kehdiupan. Heka mengaktifkan Ma’at.
Dengan menjaga keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan, maka orang-orang dapat hidup berdampingan secara damai.
Orang Mesir Kuno percaya bahwa menjadi bahagia atau membiarkan wajah seseorang ‘bersinar’, berarti akan membuat hati seseorang menjadi ringan pada saat penghakiman dan meringankan orang-orang di sekitar mereka.
Struktur sosial Mesir Kuno
Masyarakat Mesir Kuno sangan konservatif dan sangat berlapis sejak Periode Pradinastik Mesir (6000-3150 SM).
Di atas adalah raja, kemudian datang wazirnya, anggota istana, gubernur daerah, jenderal militer setelah Kerajaan Baru, pengawas tempat kerja pemerintah, dan kaum tani.
Kebanyakan orang Mesir percaya bahwa para dewa telah menasbihkan tatanan sosial yang sempurna, yang mencerminkan para dewa itu sendiri.
Para dewa telah memberi orang Mesir segala yang mereka butuhkan dan raja sebagai perantara mereka adalah yang paling siap untuk menafsirkan dan memberlakukan kehendak mereka.
Dari Periode Pradinasti hingga Kerajaan Lama (2613-2181 MS) rajalah yang bertindak sebagai mediator antara para dewa dan rakyat.
Selama akhir Kerajaan Baru (1570-1069 SM) ketika para imam Thebian dari Amun telah mengalahkan raja dalam kekuasaan dan pengaruh, raja tetap dihormati secara ilahi.
Maka menjadi tanggung jawab raja untuk memerintah sesuai dengan pelestarian ma’at.
Anggota istana raja menikmati kenyamanan yang sama dengan raja, meskipun dengan sedikit tanggung jawab.
Para gubernur daerah Mesir hidup dengan nyaman tetapi kekayaan mereka bergantung pada kekayaan dan kepentingan distrik mereka.
Apakah mereka tinggal di rumah sederhana atau istana kecil, bergantung pada kekayaan daerah dan kesuksesan pribadi.
Dokter Mesir Kuno harus sangat melek untuk membaca teks medis yang rumit, maka mulailah mereka mengikuti pelatihan sebagai juru tulis.
Sebagian besar penyakit diyakini berasal dari para dewa dan untuk mengajarkan pelajaran atau sebagai hukuman.
Oleh karena itu, para dokter perlu waspada terhadap roh jahat, apakah hantu atau dewa yang bertanggung jawab atas penyakit itu.
Dari literatur keagamaan, disebutkan risalah operasi, pengaturan patah tulang, kedokteran gigi, dan pengobatan penyakit.
Mengingat kehidupan agama dan sekuler yang tidak dipisahkan, maka dokter biasanya menjadi imam sampai kemudian profesi menjadi sekular.
Wanita bisa praktik kedokteran dan dokter wanita adalah hal biasa.
Mesir Kuno percaya bahwa Thoth adalah dewa pengetahuan memilih juru tulis mereka dan ini membuat juru tulis sangat dihargai.
Juru tulis bertanggung jawab untuk merekam peristiwa yang memastikan mereka akan menjadi Thoth yang abadi dan permaisurinya, Seshat, diyakini menyimpan kata-kata juru tulis di perpustakaan tak terbatas para dewa.
Tulisan seorang juru tuluis menarik perhatian para dewa, sehingga membuat mereka abadi.
Seshat, dewi perpustakaan dan pustakawan Mesir, dianggap secara pribadi mengatur setiap karya juru tulis di raknya.
Kebanyakan juru tulis adalah laki-laki, meski ada juga juru tulis perempuan.
Semua imam memenuhi syarat sebagai ahli Taurat, tetapi tidak semua ahli Taurat menjadi imam.
Para imam harus bisa membaca dan menulis untuk melakukan tugas suci mereka, khususnya upacara pemakaman.
Di Mesir Kuno, rumah dibangun dari batu bata lumpur yang dikeringkan dengan sinar matahari dan memiliki atap datar, membuatnya lebih sejuk di dalam dan memungkinkan orang untuk tidur di atas di musim panas.
Rumah menampilkan halaman tengah tempat memasak dilakukan.
Anak-anak di Mesir Kuno jarang mengenakan pakaian, tetapi mereka sering mengenakan jimat pelindung di leher karena tingkat kematian anak yang tinggi.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari