Find Us On Social Media :

Sampai Ditetapkan Jadi Hari Pahlawan, Begini Sejarah Terjadinya Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

By May N, Sabtu, 6 November 2021 | 08:30 WIB

Mobil yang menjadi pemicu lahirnya Hari Pahlawan, 10 November

Intisari - Online.com - Hari Pahlawan diperingati atas pertempuran bersejarah 10 November 1945, sampai saat ini banyak yang bertanya-tanya apa penyebab terjadinya Pertempuran Surabaya 10 November 1945 itu.

Sebagian besar akan menjawab penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang Majapahit) dan pidato Bung Tomo yang berapi-api.

Tapi kita lupa, bahwa pertempuran pertama pasca-proklamasi kemerdekaan RI ini bukan soal dua hal itu saja.

Berikut cerita-cerita yang belum banyak diketahui khalayak terkait perang beda kekuatan itu.

Baca Juga: Inilah yang Jadi Penyebab Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Peristiwa yang Akibatkan Gugurnya Para Pemuda Indonesia

10 cerita ini mungkin menjadi penyebab mengapa terjadi pertempuran 10 November 1945.

Pertama, pertempuran Surabaya ini menjadi salah satu pertempuran yang paling tidak ingin diingat oleh Pasukan Sekutu, terlebih Inggris.

Bagaimana tidak, di kota inilah pasukan elite Inggris dipaksa mengibarkan bendera putih dan meminta bantuan pimpinan musuh (Republik) untuk menghentikan peperangan.

Kedua, Inggris tidak hanya kehilangan satu, tapi dua jenderal: Brigadier General Aubertin Walther Sother Mallaby dan Brigadier General Robert Guy Loder Symonds.

Baca Juga: Hari Pahlawan: Dikenal Sebagai Seorang Pelawak, Tapi Kenapa Ratmi B-29 Dimakamkan di TMP Kalibata?

Ketiga, korban pertempuran ini memakan korban sekitar 20 ribu di pihak Republik dan 1.500 dipihak sekutu. Angka pastinya belum diketahui hingga sekarang.

Keempat, tewasnya Brigjen Mallaby disebabkan kesalahpahaman semata.

Hal ini karena dalam sebuah sosialisasi gencatan senjata, Mallaby menaiki mobil Buick milik residen Surabaya, Sudirman. Dan tanpa sepengetahuannya, ada granat melayang dan mengenai mobil tersebut.

Mallaby tewas seketika, tapi ada yang menyebut tewasnya Mallaby karena ditembak dari jarak dekat.

Baca Juga: Pertempuran 10 November 1945, Ini 7 Jejak Sejarah Perjuangan Pahlawan 74 Tahun Silam

Kelima, Selain melibatkan Tentara Keamanan Rakjat, tentara Hizbullah, dan Sabilillah, pertempuran ini juga melibatkan TKR Chunking yang terdiri atas warga Tionghoa di Surabaya.

Keenam, tidak hanya Bung Tomo yang berpidato menggunakan radio untuk menggelorakan semangat arek Surabaya, ada seorang gadis Tionghoa berpidato menggunakan bahasa Inggris melalui radio yang dikelola komunitas Tionghoa setempat.

Ia berpidato meminta bantuan kepada Pemerintah Republik Tiongkok untuk membantu rakyat Surabaya.

Ketujuh, Bung Tomo justru ditawan oleh laskar ketika perang meletus, akibat dari instruksi Cak Mus atau dr. Mustopo, Pemimpin Markas Besar Tentara Jawa Timur.

Baca Juga: Hari Ini dalam Sejarah, Pertempuran 10 November yang Buat Indonesia dari Bangsa 'Lembut' Jadi Ganas dan Liar

Hal ini dilakukan guna melindungi Bung Tomo yang dianggap sebagai orang penting.

Kedelapan, orasi Cak Mus justru memuji tentara NICA dan Sekutu.

Begini bunyi orasinya: “NICA, NICA, NICA, jangan mendarat. Inggris, kamu jangan mendarat.

Kalian tahu aturan Inggris, kalian pintar, sudah sekolah tinggi. Kalian tahu aturan, jangan mendarat!”

Baca Juga: 10 Untold Story Pertempuran 10 November, Laskar Hizbullah Bersatu dengan Laskar Tionghoa

Kesembilan, Bung Tomo dan pemuda lainnya aktif melobi Jepang untuk menyerahkan senjata untuk melawan tentara sekutu.

Ada seorang tentara Jepang tidak mau menyerahkan bayonetnya, karena ia menjadi juru masak dan bayonet penting baginya.

Tidak kesulitan, Bung Tomo menyuruh salah seorang pemuda mencari sebilah pisau dan ditukarkan dengan bayonet tersebut.

Baca Juga: Dianggap Jadi Sebab Lepasnya Indonesia, Amukan Inggris saat Pertempuran Surabaya Bikin 'Senewen' Belanda

Kesepuluh, ketika pertemuan terjadi, banyak pemuda dari laskar-laskar di Surabaya tidak tahu cara melempar granat.

Mereka tidak tahu jika sebelum dilempar, picu granat harus dicabut terlebih dahulu, dan hal ini disinggung sekilas oleh Imam Tantowi dalam filmnya Merdeka atau Mati: Soerabaia 45.