Advertorial
Intisari-Online.com – Tanggal 10 November 2021 ini jatuh pada hari Rabu, yang setiap tahunnya di tanggal tersebut di peringati sebagai Hari Pahlawan.
Peringatan 10 November ini sebagai peringatan atas gugurnya para pahlawan dan pejuang di Kota Surabaya yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Terjadi pada 10 November 1945, peperangan antara pemuda Surabaya dengan tentara Sekutu yang diboncengi oleh Belanda yang ingin kembali merebut kekuasaan di Indonesia.
Pertempuran yang terjadi pada 10 November 1945 itu kita kenal sebagai Pertempuran Surabaya, merupakan perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing stelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tidak hanya itu, pertempuran yang terjadi tersebut menjadi yang terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia atas perlawanan Indonesia melawan kolonialisme.
Seperti melansir dari wikipedia.org, tiga tahun setelah 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Itu terjadi setelah Jepang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki.
Terjadi pada bulan Agustus 1945, saat terjadi kekosongan kekuasaan asing inilah Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah itu dimaklumatkan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 31 Agustus 1945 penetapan mulai 1 Septembe r1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia.
Gerakan mengibarkan bendera Merah Putih ini terus menyebar luas ke segenap pelosok, termasuk kota Surabaya.
Dan klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera Belanda (merah-putih-biri) di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Rupanya sekelompok Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploehamn paa malam hari tanggal 18 September 1945 pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda.
Tentu saja, pengibaran bendera itu tanpa persetujuan pemerintah RI daerah Surabaya, dilakukan di tiang tingat teratas Hotel Yamato.
Pemuda Surabaya yang melihat keesokan harinya menjadi marah karena menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia.
Massa Surabaya pun berkumpul di depan Hotel Yamato.
Kemudian, Residen Soedirman, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono.
Mereka berunding dengan Ploegman dan kawan-kawannya, sekaligus meminta agar bendera segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Pleogman menolak menurunkan bendera Belanda, hingga perundingan berlangsung memanas, dia pun mengeluarkan pistol.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman.
Sedangkan Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato, membuat para pemuda Surabaya tahu bahwa perundingan gagal.
Para pemuda itu pun berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda.
Mereka kemudian merobek bagian biru dari bendera, dan mengereknya kembali ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Tidak hanya karena insiden bendera di Hotel Yamato, namun terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, juga dianggap sebagai latar belakang penyebab pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Masih terjadi perdebatan apa yang menyebabkan Jenderal Mallaby tewas, namun itu menyebabkan penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh, mengeluarkan ultimatum.
Dalam ultimatumnya disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum itu pada pukul 06.00 WIB keesokan paginya, tanggal 10 November 1945.
Tentu saja, pihak Indonesia menolak ultimatum tersebut dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudha berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.
Juga banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar, yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang membonceng kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Tentara Inggris pun mulai melancarkan serangan pada keesokan paginya, 10 November 1945.
Pasukan dan milisi Indonesia pun membalas melawan pasukan Sekutu tersebut.
Semangat para pejuang Indonesia terus dikobarkan oleh Bung Tomo, yang mengudarakannya juga melalui radio.
Tak hanya datang dari pejuang, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah serta kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan.
Dari hari ke hari bahkan minggu ke minggu, perlawanan yang awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi pun semakin hari semakin teratur, hingga mencapai sekitar tiga minggu terjadi pertempuran Surabaya ini.
Baca Juga: Mengulas Penyebab dan Latar Belakang Pertempuran 10 November di Surabaya
Dan ini memakan banyak korban jiwa, dari pihak Indonesia tewas sektiar 16.000 pejuang dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.
Sedangkan korban dari pasukan Inggris dan India, sekitar 2.000 orang.
Pertempuran di Surabaya yang memakan ribuan jiwa ini rupanya telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Karena banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban inilah, maka melalui Keputusan Presiden RI ditetapkan bahwa tanggal 10 November dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari