Penulis
Intisari-Online.com -Arkeolog Inggris, Howard Carter, membuka sarkofagus di Lembah Para Raja, Mesir, untuk pertama kalinya pada 16 Februari 1923.
Tutankhamun menjadi Firaun pada usia sembilan tahun, setelah kematian ayahnya, Firaun 'murtad' yang terkenal, Akhenaton, yang secara singkat menghapuskan panteon Mesir.
Apa yang dilakukannya itu telah memicu intrik dan misteri tentang raja muda dari zaman Mesir Kuno.
Siapa sebenarnya Raja Tutankhamun yang menempati makam tersebut?
Bagaimana kepemimpinannya pada 3.300 tahun lalu? Apa pula yang menyebabkan Raja Tut meninggal di usia 19 tahun?
Carter tidak memiliki jawabannya pada saat itu.
Namun, teknik forensik modern dan teknologi medis masa kini, telah mengungkap detail yang menyediakan petunjuk tentang apa yang mungkin memengaruhi kematian Raja Tut.
Hasil tes DNA dan pindai CT menunjukkan bahwa ia mengidap malaria.
Sementara tulang kaki bagian bawah yang retak dan agak cacat merupakan bawaan lahir yang dipercaya sebagai efek perkawinan sedarah yang umum dilakukan di kalangan bangsawan Mesir.
Baca Juga: Jadi Asal-usul Budaya Firaun Kuno Berakar, Kerajaan Punt Kuno 'Tanah Para Dewa' Akhirnya Ditemukan?
Namun, para peneliti tidak puas dengan fakta tersebut.
Frank Rühli, ahli mumi dari Swiss, mengatakan bahwa sejak ditemukannya makam Raja Tut, banyak ilmuwan, akademisi, dan pengamat Mesir amatir, mengajukan beberapa teori tentang apa yang sebenarnya membunuh sang raja muda.
Bukti-bukti yang diberikan sangat menarik, meski tidak semuanya meyakinkan.
Faktor post-mortem
Salah satu tantangan dalam merekonstruksi ulang kehidupan Raja Tut adalah kondisi muminya yang ditemukan pada 1923.
Carter pertama kali menelitinya pada 1926, kemudian mengembalikan mumi tersebut ke pemakamannya yang terbuka sampai 2007.
Selama kurun waktu tersebut, beberapa kalung dan permata yang dikuburkan bersama dengan Raja Tut telah disingkirkan, kemungkinan untuk mencegah mumi agar tidak semakin rapuh.
“Mereka yang terlibat dengan mumi mengetahui bahwa tingkat perubahan post-mortem dan efek mumifikasi menjadi salah satu faktor mengapa sulit menciptakan narasi penyebab kematian Rata Tut yang mudah dipercaya,” papar Betsy M. Bryan, profesor studi ketimuran dari Johns Hopkins University yang sudah meneliti Mesir kuno selama beberapa dekade.
Menurut Bryan, teknologi forensik di masa mendatang pada akhirnya akan menjadi lebih baik sehingga dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Saya memiliki keyakinan besar pada sains,” katanya.
Sementara itu, Rühli mengatakan bahwa yang diperlukan bukanlah teknologi baru yang canggih, tapi inspeksi lebih lanjut pada kerangka Raja Tut.
“Teknologi terbaru tidak dibutuhkan. Bagaimana pun juga, yang paling membantu adalah penyelidikan mendalam pada titik-titk cedera (kerangka kaki, lutut, wajah) pada mumi itu sendiri,” tuturnya.
Teori Kecelakaan Kereta
Pada 2014, produser dokumenter televisi BBC, mengemukakan bahwa Raja Tut meninggal dalam kecelakaan kereta yang mematahkan kaki dan tulang panggulnya, serta menyebabkan infeksi dan keracunan darah.
Pendukung teori ini yakin Raja Tut mengendarai kereta kuda dengan kakinya yang cacat sehingga ada kemungkinan ia terjatuh dan mematahkan kakinya.
Meskipun cerita tersebut terdengar bagus, tapi tidak ada catatan mengenai insiden kecelakaan.
Faktanya, salah satu pengamat Mesir yang terlibat dalam acara televisi tersebut juga masih ragu mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
“Kami belum mengetahui dengan pasti bagaimana Tutankhamun meninggal,” ujar Christopher Naunton, pengamat Mesir dan mantan pemimpin Egypt Exploration Society.
Naunton mengatakan, dokumenter BBC memulai dengan premis bahwa mumi tersebut menunjukkan bukti raja menderita luka parah pada sisi tubuh bagian kiri.
Kemudian, riset dari para pembuat film menunjukkan bahwa luka tersebut disebabkan oleh roda kereta kuda, tapi bukan karena jatuh dari sana.
Yang masih belum jelas, menurut Naunton, adalah apakah cedera itu sudah terjadi saat Raja Tut masih hidup atau setelah kematiannya––sebagai dampak dari sentuhan manusia yang menanganinya setelah mumi ditemukan oleh Howard Carter.
Sejarah yang terhapus
Tidak hanya kematiannya yang menjadi misteri, tapi juga kisah hidupnya.
Tutankhamun merupakan anak-anak laki dari Raja Mesir yang kontroversial, Akhenaten.
Salah satu kebijakan Akhenaten yang cukup kontorversial adalah memutuskan bahwa Mesir hanya menyembah dewa tunggal, Aten, dan bukannya banyak dewa.
Juga memindahkan ibukota dari Thebes ke Amarna.
Menurut David P. Silverman, profesor ilmu pengetahuan Mesir, secara politik, sebenarnya kondisi kerajaan tersebut sangat lemah selama 13 tahun kepemimpinan Akhenaten.
Silverman mengatakan, Tut kemudian mengembalikan lagi tradisi menyembah dewa-dewa tua dan kuil-kuil mereka–menghapus perubahan yang dilakukan ayahnya dan mengembalikan stabilitas kerajaan.
Namun, penguasa selanjutnya seperti berusaha menghapus representasi ayah dan anak ini dari daftar raja-raja penting di Mesir.
Kuburan mereka dianggap hilang hingga ditemukan Carter pada awal abad ke-20.
“Mereka secara khusus mencoba menghilangkan memori keluarga tersebut dengan tidak memasukkan mereka dalam daftar raja.
Seolah-olah orang ini tidak pernah ada,” ungkap Silverman.
Meskipun kisah hidupnya terhapus, tapi soal kematiannya, Raja Tut menjadi firaun Mesir paling populer. Ia menjadi ikon populer dari peradaban Mesir Kuno setelah muminya ditemukan.
(*)